Jumat, 20 April 2018

Panggilan Bagi Jiwa Yang Tenang


Manusia di dalam al-Qur’an

Konsep Manusia merupakan salah satu di antara tema sentral yang dibicarakan di dalam al-Qur’an. Hal ini terindikasi dari beberapa kata yang terdapat di dalam al-Qur’an yang itu semua berpulang pada makna dan tema yang satu, yaitu membicarakan manusia. Setidaknya ada empat kata di dalam al-Qur’an yang mewakili makna manusia: pertama, al-basyar, kedua an-nas, ketiga al-ins dan keempat al-insan.

Meskipun memiliki makna yang sama, bukan berarti keempat kata tersebut tidak memiliki unsur-unsur yang berbeda. Sebab, dalam kaidah dasar ulum al-Qur’an menetapkan bahwa ayat al-Qur’an terlepas dari pemaknaan berulang-ulang secara sia-sia.

Kaidah dasar ini meniscayakan di dalam al-Qur’an, gambaran konsep manusia yang komperhensif akan didapatkan dengan mengkaji keempat key word tersebut. Berdasarkan itu, maka tulisan ini mencoba untuk menjelaskan secara sederhana konsep manusia di dalam al-Qur’an dengan menggunakan metode munāsabah āyahbilāyah.

Metode munasabah adalah metode yang digunakan untuk menangkap makna terdalam pada satu tema (maudhu’i)[1] dengan cara mengkomparasikan dan menghubungkan satu ayat dengan ayat lain yang memiliki kesamaan tema.[2] Dalam hal ini, maka ayat yang di dalamnya terdapat kata al-basyar akan dihubungkan dengan ayat lain yang juga menggunakan kata al-basyar. Begitu pun dengan kata-kata lainnya. Hal ini bertujuan –sebagaimana yang telah dijelaskan di atas- untuk mengungkap pemaknaan manusia secara komperhensif yang dibicarakan di dalam al-Qur’an.

Al-Basyar

Secara Bahasa, kata al-basyar berasal dari kata basyara-basyran. Di antara makna dari kata tersebut adalah mengupas. Pemaknaan kata mengupas tersebut, -jika kita merujuk kepada makna yang diberikan oleh al-Ashfahani di dalam mufradat al-alFazhal-Qur’an-dikarenakan kata basyar bisa menjadi al-bisyrah atau al-basyarah yang artinya kulit yang tampak. Beberapa ahli bahasa kemudian menjelaskan kenapa manusia disebut dengan kata basyar, karena secara fisik kulit manusia lebih tampak dari pada rambut/bulu-bulunya. Berbeda dengan hewan yang lebat bulunya atau sama sekali tidak memiliki bulu.[3]

Makna al-Qur’an: Berangkat dari makna bahasa ini, maka secara umum ayat yang menggunakan kata al-basyar menunjukkan manusia secara fisik. Seperti pada firman Allah surat al-Furqan: 54 dan Shaad: 71. Hal ini diperkuat pada ayat-ayat lain yang memberikan definisi bahwa al-basyar adalah wadah fisik yang bersifat materil, membutuhkan makan dan minum dan menunjukkan siapa saja, baik nabi maupun orang kafir. (al-Anbiya: 1-8)

اقْتَرَبَ لِلنَّاسِ حِسَابُهُمْ وَهُمْ فِي غَفْلَةٍ مُعْرِضُونَ (1) مَا يَأْتِيهِمْ مِنْ ذِكْرٍ مِنْ رَبِّهِمْ مُحْدَثٍ إِلَّا اسْتَمَعُوهُ وَهُمْ يَلْعَبُونَ (2) لَاهِيَةً قُلُوبُهُمْ وَأَسَرُّوا النَّجْوَى الَّذِينَ ظَلَمُوا هَلْ هَذَا إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَفَتَأْتُونَ السِّحْرَ وَأَنْتُمْ تُبْصِرُونَ (3) قَالَ رَبِّي يَعْلَمُ الْقَوْلَ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (4) بَلْ قَالُوا أَضْغَاثُ أَحْلَامٍ بَلِ افْتَرَاهُ بَلْ هُوَ شَاعِرٌ فَلْيَأْتِنَا بِآَيَةٍ كَمَا أُرْسِلَ الْأَوَّلُونَ (5) مَا آَمَنَتْ قَبْلَهُمْ مِنْ قَرْيَةٍ أَهْلَكْنَاهَا أَفَهُمْ يُؤْمِنُونَ (6) وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (7) وَمَا جَعَلْنَاهُمْ جَسَدًا لَا يَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَمَا كَانُوا خَالِدِينَ (8) [الأنبياء/1-8]

Al-Anbiya (21): 1. Telah dekat kepada manusia perhitungan mereka, sedangkan mereka lalai dan berpaling. 2. Tidak datang kepada mereka peringatan baru dari Tuhan mereka melainkan mereka mendengarkannya sambil bermain-main. 3. dan hati mereka bergurau meremehkan. Dan orang-orang yang zalim berbicara secara rahasia: Orang ini tidak lain hanyalah manusia biasa seperti kamu? Apakah kamu akan menerima sihir ini padahal kamu tahu? 4. Muhammad berkata kepada mereka: Tuhanku mengetahui semua perkataan, baik di langit maupun di bumi. Dia maha mendengar dan maha mengetahui. 5. Bahkan mereka berkata: Impian yang kalut! Tidak, dia mengada-ada, bahkan dia adalah seorang penyair. Maka, suruhlah dia mendatangkan kepada kita suatu ayat sebagaimana rasul-rasul dahulu diutus. 6. Sebelum mereka, tiada seorangpun penduduk kota yang kami binasakan mau beriman. Lalu apakah mereka akan beriman? 7. Kami tidak mengutus sebelum kamu kecuali hanya orang lakilaki yang Kami berikan wahyu. Bertanyalah kepada yang masih ingat (ahli dzikr)jika kamu tidak tahu. 8. Dan Kami tidak membuat mereka tubuh yang tidak makan, dan tidak pula mereka kekal.

Bahkan dalam beberapa ayat, orang kafir mempergunakan kata basyar untuk mengingkari kenabian utusan Allah (al-Mudattsir: 25, al-Qamar: 24, yasin 15, al-Mukminun: 47, at-thaghabun: 6). Hal ini tentu menunjukkan bahwa basyar di zaman sebelum turunnya al-Qur’an sudah menunjukkan keadaan manusia secara fisik saja.

إِنْ هَٰذَا إِلَّا قَوْلُ الْبَشَرِ

Inihanyaperkataanmanusia (al-Mudattsir: 25)

قَالُوا مَا أَنتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِّثْلُنَا وَمَا أَنزَلَ الرَّحْمَٰنُ مِن شَيْءٍ إِنْ أَنتُمْ إِلَّا تَكْذِبُونَ

Mereka (penduduknegeri) menjawab, “kamuinihanyalahmanusiaseperti kami, dan (Allah) Yang MahaPengasihtidakmenurunkansesuatuapa pun; kauhanyalahpendustabelaka” (Yasin: 15)

Selain dari pemaknaan tersebut, terdapat pula ayat perlu diperhatikan bahwa, kekhususan dan keistimewan nabi yang hanya seorang basyar itu didapatkan dari wahyu yang diberikan kepadanya:

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌفَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya. (Al-Kahfi: 110)

Ayat ini menunjukkan bahwa keadaan manusia tanpa wahyu menjadikannya manusia yang dipandang secara fisik semata tanpa ada keistimewaannya dibanding manusia bahkan makhluk-makhluk lain.

Al-Nas

Para ahli bahasa berbeda pendapat dalam melihat akar dari kata an-Nas. Beberapa di antara mereka, menyatakan bahwa al-Nas berasal dari kata unas yang berasal dari kata anisa yang artinya jinak-menjinakkan/ramah. Hilangnya hamzah pada kata tersebut disebabkan karena masuknya alif lam. Berbeda dengan pemaknaan tersebut, ahli bahasa lain berpendapat bahwa asal kata an-Nas adalah nasiya artinya lupa.[4] Yang lain mengakarkan pada kata nasa-yanusu artinya bergoncang. Sementara dzu nawwas artinya yang memiliki keilmuan.[5]

Makna al-Qur’an: Adapun jika dirujuk pada ayat-ayat yang menggunakan lafal an-Nas, maka setidaknya didapati tiga makna umum. Pertama an-Nas merujuk pada makna jenis makhluk. Seperti pada firman Allah surat al-Hujurat: 13 yang menjelaskan bahwa hakikatnya manusia adalah makhluk yang berasal dari jiwa yang satu yaitu adam.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Wahaimanusia! Sungguh Kami telahmenciptakankamudariseoranglaki-lakidanseorangperempuan, kemudian Kami jadikankamuberbangsa-bangsadanbersuku-suku agar kamusalingmengenal. Sungguh, yang paling mulia di antarakamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah MahaMengetahui, MahaTeliti. ( Al-Hujurat: 13)

Pengertian ini diperkuat pada pemaknaan an-Nas sebagai ummat yang satu dan jenis yang disejajarkan dengan malaikat pada firman Allah al-Baqarah 161-162 dan 213.

Kedua makna an-Nas bisa juga berarti adalah manusia dari aspek kelebihannya. Hal ini bagi Al-Isfhani disebabkan wujudnya akal, dzikir dan akhlak baik dalam diri manusia. seperti pada surat al-Baqarah: 113:

وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ ۗ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَٰكِن لَّا يَعْلَمُونَ

Dan apabiladikatakankepadamereka, “Berimanlahkamusebagaimana orang lain telahberiman!” Merekamenjawab, “Apakah kami akanberimanseperti orang-orang yang kurangakalsehatberiman?” Ingatlah, sesungguhnyamerekaitulah orang-orang yang kurangakal, tetapimerekatidaktahu. (Al-Baqarah: 113)

Makna ayat ini tidak menunjukkan pada mengikuti manusia sebagai sebuah makhluk atau entitas, tetapi lebih pada sifat-sifat luhur kemanusiaan yang dimilikinya.

Adapun makna ketiga berkaitan erat dengan makna pertama dan kedua. Yaitu bahwa an-nas menunjukkan perbedaan dan kelebihan manusia di banding makhluk lainnya. Perbedaannya adalah bahwa manusia tidaklah sama dengan setan yang hanya didominasi oleh nafsu. Tidak sama pula dengan malaikat yang tidak memiliki nafsu sama sekali. Perbedaan itu kemudian menjadi kelebihan jenis manusia dibanding kedua makhluk tersebut.

Selain itu, an-nas dengan makna ketiga ini memberi arti bahwa manusia bisa lebih condong kepada keimanan atau sebaliknya, kepada kekufuran. jika an-nas bermakna baik maka ia akan disandingkan dengan malaikat (2: 161, 3: 87, dan 22: 75). Namun jika an-nas bermakna jelek, maka ia disandikan dengan jin (lihat 11: 119, 32: 13, dan 114: 6).

Al-Ins

Al-Isfahani di dalam kitabnya menyebutkan kata al-Ins memiliki akar kata yang sama dengan al-Insan. Meski demikian, bagi al-Ashfahani al-Ins dan al-Insan memberikan penekanan yang sama sekali berbeda. Secara bahasa keduanya memang berasal dari alif nun dan sin, tetapi jika di lihat pada penggunaan katanya di dalam konteks ayat-ayat maka al-Ins, oleh beliau diartikan khilaful jinni (makhluk yang berbeda dari jin).[6]

Adanya makna tersebut merupakan hasil dari adanya kenyataan bahwa kata al-Ins selalu disandingkan dengan al-Jinn tetapi tidak menunjukkan kesamaan melainkan justru perbedaan. Seperti pada Surah Al-An’amayat 128:

ويَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الْإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الْإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ.

Dan (ingatlah) padahari ketika Dia mengumpulkan mereka semua (dan Allah berfirman) “Wahai golongan Jin! Kamu telah banyak menyesatkan manusia.” Dan kawan-kawan mereka dari golongan manusia berkata, “YaTuhan, kami telahsaling mendapatkan kesenangan dan sekarang waktu yang telah Engkau tentukan buat kami telah dating. “Allah berfirman, “Nerakalah tempat kamu selama-lamanya, kecuali jika Allah berkehendak lain. “Sungguh, Tuhanmu Maha Bijaksana, Maha Mengetahui.

Ayat di atas, menunjukkan perbedaan antara jin dan manusia. sebab jin pada pengertiannya adalah makhluk yang menyesatkan al-ins (manusia). hal ini kemudian menjadi dasar bintu Syati di dalam tafsirnya at-tafsir al-bayan li al-Qur’an al-Karim menafsirkan bahwa sifat manusia harusnya berbeda dengan sifat jin yang dalam hal ini telah membangkang oleh Allah sehingga mempunyai pekerjaan menyesatkan. Jika ditarik makna ini lebih jauh, maka manusia yang telah disesatkan oleh jin pada hakikatnya telah jauh dari fitrah kemanusiaanya.[7]

Konsep Al-insan

Sementara kata al-Insan, meskipun bukan kata yang paling banyak tersebutkan dalam al-Qur’an, tetapi memiliki porsi yang cukup luas dalam menjelaskan konsep manusia menurut al-Qur’an. Secara bahasa, al-Insan –sebagaimana yang dikutip oleh al-Isfhani adalah:

سمي بذلك لأنه خلق خلقه لا قوام له إلا بإنس بعضهم ببعض

(Dikatakan (al-insan) karena dia adalah makhluk yang diciptakan yang tidak bisa hidup kecuali bersama dengan manusia lainnya).[8]

Dapat dijelaskan bahwa kata al-Insan mewakili manusia sebagai makhluk yang tidak bisa mempertahankan eksistensinya sendiri. dalam arti semenjak proses penciptaan, proses keberlangsungan hidup hingga nanti proses setelah kematian, manusia adalah makhluk yang menggantungkan dirinya dan memerlukan lainnya.

Makna al-Qur’an: Makna bahasa ini, bagi penulis kemudian menemukan perwujudannya dalam tiga pemakanaan yang terdapat dalam al-Qur’an. Pertama al-Insan itu menunjukkan bahwa manusia itu diciptakan dengan bergantung kepada Allah. Kedua manusia itu diciptakan dengan membutuhkan pengetahuan dan manusia diciptakan dengan berbagai macam kekurangan.

Makna pertama bisa ditarik dari firman Allah:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ

Ayat yang pertama kali diturunkan Allah ini mengindikasikan dengan jelas bahwa manusia itu pada mulanya diciptakan Allah berupa sesuatu yang bergantung. Secara filosofis bisa diartikan eksistensi manusia tidak akan bisa terwujud tanpa ada Allah dan manusia sendiri di dalam proses kehidupannya akan selalu bergantung pada kekuasaan tuhannya.

Dengan adanya kesadaran tersebut, maka kata al-Insan yang disebutkan dalam ayat yang menjelaskan proses penciptaan manusia pada hakikatnya tidak hanya bertujuan menunjukkan manusia dari segi fisiknya belaka, melainkan lebih kepada bagaimana manusia itu menyadari kekuasaan Allah atas dirinyaa sehingga manusia itu mengakui bahwa dia bergantung pada Zat yang menciptakannya:

فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ (5) خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ (6) يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ (7) إِنَّهُ عَلَى رَجْعِهِ لَقَادِرٌ (8)

Al-Tariq (86): 5. Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? 6. Dia diciptakan dari air yang dipancarkan, 7. yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan. 8. Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup sesudah mati). (Al-Tariq ayat 5-8)

Berhubungan dengan pemaknaan pertama, maka makna kedua bisa dijelaskan bahwa untuk menyadari ketergantungan manusia kepada penciptanya, maka al-Insan itu diberikan anugrah Allah berupa ilmu pengetahuan. Sehingga harusnya pengetahuan itu menjadi kebutuhan, di mana kebutuhan pokok dari keilmuan itu adalah untuk mengenal Allah dan menyadari kebutuhan kita akanNya:

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ (2) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (4) عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ(5)

Adapun perwujudan makna al-Insan yang ketiga di dalam al-Qur’an adalah bahwa manusia itu makhluk yang bergantung disebabkan manusia memiliki potensi merugi.

إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ

Kerugian tersebut bisa terjadi lantaran di dalam diri manusia –sebagaimana pemaknaan al-Nas- memiliki sifat-sifat tidak terpuji dan bisa membawa kepada penyesalan dan keburukan. Di antara sifat tersebut adalah suka membantah(yasin 77-79, an-nahl: 4), lemah(an-nisa 28), tergesa-gesa(al-Isra: 11), tidak pandai bersyukur(al-Isra: 67), mudah berputus asa(al-Isra: 83), suka bangga dan sombong(Hud: 9-11), suka mengeluh dan kikir(al-Ma’arij: 19-21), suka membantah(18: 54), kebanyakan tidak mau tahu(33: 72), zhalim dan suka berbuat bodoh(az-Zumar: 49), suka beralasan(al-Qiyamah: 14), senantiasa dalam keadaan susah payah (al-Balad: 4)

Kekurangan-kekurangan inilah yang sejatinya bisa menjadikan manusia berada pada kerugian. Sementara kerugian itu disebutkan dalam al-Qur’an dengan istilah asfala as-Safilin. Adapun jika manusia memahami ketergantungannya kepada Allah, kepada pengetahuan akan Allah dan segala tindakan yang bisa menjurumuskannya dalam potensi-potensi buruk, maka manusia itu bisa kembali pada penciptaannya yang fitrah dan unggul, atau yang diistilahkan al-Qur’anahsanitaqwim.

Berdasarkan keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa: Manusia di dalam al-Qur’an diwakili dengan empat kata: al-Basyar, al-Nas, al-Ins dan al-Insan

Al-Basyr menggambarkan manusia sebagai manusia secara fisik, wadah materil yang butuh makan dan minum dan menunjukkan manusia jenis apa saja, baik Nabi maupun kafir

Al-Nas memiliki tiga pemaknaan. Pertama: menunjukkan jenis makhluk yang bernama manusia. kedua: manusia tidak sebagai entitas secara fisik tetapi sifat-sifat. Ketiga manusia makhluk yang berbeda karena memiliki potensi menjadi baik dan menjadi buruk

Makna al-Ins merujuk pada makna berbeda dari Jinn dalam arti negatif

Makna al-Insan yang merujuk pada hakikat manusia sebagai makhluk yang diciptakan Allah, bergantung pada Allah, membutuhkan ilmu pengetahuan untuk mematuhi Allah dan menjauhkan diri dari potensi-potensi kerugian

Jika hendak diambil benang merah dari semua kata tersebut maka dapat disimpulkan bahwa manusia di dalam al-Qur’an tidak hanya bersifat basyar saja. tetapi an-nas yang memiliki potensi baik dan buruk. Hakikatnya manusia harus menjadi al-Ins yang tidak tersesat oleh al-Jinn.

Untuk itu maka manusia harus menghayati dirinya sebagai al-Insan di mana potensi keburukan dan kerugiannya dijauhi dengan cara menyadari ketergantungannya kepada Allah melalui pengetahuannya kepada Allah dan mengaplikasikan pada tindakan untuk menghindari segala potensi keburukan dalam diri.

Ketika manusia tidak bisa seperti itu, maka berarti manusia tersebut tidak terbimibing oleh wahyu. Akibatnya manusia hanya menjadi basyar secara fisik yang tidak berbeda dari makhluk lainnya bahkan jatuh pada derajat asfalas as-safilin. Namun ketika manusia mampu melakukan proses tersebut, berarti ia merupakan basyar yang istimewa karena mengikutiwahyu, dengan begitu ia berada pada derajat ahsani taqwim.

Oleh: Qoem Aula Syahid



Sumber: https://www.tongkronganislami.net/contoh-ceramah-dan-tausiah-agama-islam-terbaru/

Ada Apa di Rouhdoh


Minggu, 15 April 2018

Persiapkan Diri Menyambut Ramadhan

Wahai kaum muslimin, hendaknya kita mengetahui bahwa salah satu nikmat yang banyak disyukuri meski oleh seorang yang lalai adalah nikmat ditundanya ajal dan sampainya kita di bulan Ramadhan. Tentunya jika diri ini menyadari tingginya tumpukan dosa yang menggunung, maka pastilah kita sangat berharap untuk dapat menjumpai bulan Ramadhan dan mereguk berbagai manfaat di dalamnya.

Bersyukurlah atas nikmat ini. Betapa Allah ta’ala senantiasa melihat kemaksiatan kita sepanjang tahun, tetapi Dia menutupi aib kita, memaafkan dan menunda kematian kita sampai bisa berjumpa kembali dengan Ramadhan.

Ketidaksiapan yang Berbuah Pahit

Imam Abu Bakr Az Zur’i rahimahullahmemaparkan dua perkara yang wajib kita waspadai. Salah satunya adalah [اَلتَّهَاوُنُ بِالْأَمْرِ إِذَا حَضَرَ وَقْتُهُ], yaitu kewajiban telah datang tetapi kita tidak siap untuk menjalankannya. Ketidaksiapan tersebut salah satu bentuk meremehkan perintah. Akibatnya pun sangat besar, yaitu kelemahan untuk menjalankan kewajiban tersebut dan terhalang dari ridha-Nya. Kedua dampak tersebut merupakan hukuman atas ketidaksiapan dalam menjalankan kewajiban yang telah nampak di depan mata.[1]

Abu Bakr Az Zur’i menyitir firman Allah ta’ala berikut,

فَإِنْ رَجَعَكَ اللَّهُ إِلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ فَاسْتَأْذَنُوكَ لِلْخُرُوجِ فَقُلْ لَنْ تَخْرُجُوا مَعِيَ أَبَدًا وَلَنْ تُقَاتِلُوا مَعِيَ عَدُوًّا إِنَّكُمْ رَضِيتُمْ بِالْقُعُودِ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَاقْعُدُوا مَعَ الْخَالِفِينَ (٨٣)

“Maka jika Allah mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), Maka katakanlah: “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.”(At Taubah: 83).

Renungilah ayat di atas baik-baik! Ketahuilah, Allah ta’ala tidak menyukai keberangkatan mereka dan Dia lemahkan mereka, karena tidak ada persiapan dan niat mereka yang tidak lurus lagi. Namun, bila seorang bersiap untuk menunaikan suatu amal dan ia bangkit menghadap Allah dengan kerelaan hati, maka Allah terlalu mulia untuk menolak hamba yang datang menghadap-Nya. Berhati-hatilah dari mengalami nasib menjadi orang yang tidak layak menjalankan perintah Allah ta’ala yang penuh berkah. Seringnya kita mengikuti hawa nafsu, akan menyebabkan kita tertimpa hukuman berupa tertutupnya hati dari hidayah.

Allah ta’ala berfirman,

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (١١٠)

“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al An’am: 110).

Persiapkan Amal Shalih dalam Menyambut Ramadhan

Bila kita menginginkan kebebasan dari neraka di bulan Ramadhan dan ingin diterima amalnya serta dihapus segala dosanya, maka harus ada bekal yang dipersiapkan.

Allah ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لأعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ (٤٦)

“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At Taubah: 46).

Harus ada persiapan! Dengan demikian, tersingkaplah ketidakjujuran orang-orang yang tidak mempersiapkan bekal untuk berangkat menyambut Ramadhan. Oleh sebab itu, dalam ayat di atas mereka dihukum dengan berbagai bentuk kelemahan dan kehinaan disebabkan keengganan mereka untuk melakukan persiapan.

Sebagai persiapan menyambut Ramadhan, Rasulullah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata,

وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Saya sama sekali belum pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dalam satu bulan sebanyak puasa yang beliau lakukan di bulan Sya’ban, di dalamnya beliau berpuasa sebulan penuh.” Dalam riwayat lain, “Beliau berpuasa di bulan Sya’ban, kecuali sedikit hari.”[2]

Beliau tidak terlihat lebih banyak berpuasa di satu bulan melebihi puasanya di bulan Sya’ban, dan beliau tidak menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan.

Generasi emas umat ini, generasi salafush shalih, meeka selalu mempersiapkan diri menyambut Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Sebagian ulama salaf mengatakan,

كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ

”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan.”[3]

Tindakan mereka ini merupakan perwujudan kerinduan akan datangnya bulan Ramadhan, permohonan dan bentuk ketawakkalan mereka kepada-Nya. Tentunya, mereka tidak hanya berdo’a, namun persiapan menyambut Ramadhan mereka iringi dengan berbagai amal ibadah.

Abu Bakr al Warraq al Balkhi rahimahullahmengatakan,

شهر رجب شهر للزرع و شعبان شهر السقي للزرع و رمضان شهر حصاد الزرع

“Rajab adalah bulan untuk menanam, Sya’ban adalah bulan untuk mengairi dan Ramadhan adalah bulan untuk memanen.”[4]

Sebagian ulama yang lain mengatakan,

السنة مثل الشجرة و شهر رجب أيام توريقها و شعبان أيام تفريعها و رمضان أيام قطفها و المؤمنون قطافها جدير بمن سود صحيفته بالذنوب أن يبيضها بالتوبة في هذا الشهر و بمن ضيع عمره في البطالة أن يغتنم فيه ما بقي من العمر

“Waktu setahun itu laksana sebuah pohon. Bulan Rajab adalah waktu menumbuhkan daun, Syaban adalah waktu untuk menumbuhkan dahan, dan Ramadhan adalah bulan memanen, pemanennya adalah kaum mukminin. (Oleh karena itu), mereka yang “menghitamkan” catatan amal mereka hendaklah bergegas “memutihkannya” dengan taubat di bulan-bulan ini, sedang mereka yang telah menyia-nyiakan umurnya dalam kelalaian, hendaklah memanfaatkan sisa umur sebaik-baiknya (dengan mengerjakan ketaatan) di waktu tesebut.”[5]

Wahai kaum muslimin, agar buah bisa dipetik di bulan Ramadhan, harus ada benih yang disemai, dan ia harus diairi sampai menghasilkan buah yang rimbun. Puasa, qiyamullail, bersedekah, dan berbagai amal shalih di bulan Rajab dan Sya’ban, semua itu untuk menanam amal shalih di bulan Rajab dan diairi di bulan Sya’ban. Tujuannya agar kita bisa memanen kelezatan puasa dan beramal shalih di bulan Ramadhan, karena lezatnya Ramadhan hanya bisa dirasakan dengan kesabaran, perjuangan, dan tidak datang begitu saja. Hari-hari Ramadhan tidaklah banyak, perjalanan hari-hari itu begitu cepat. Oleh sebab itu, harus ada persiapan yang sebaik-baiknya.

Jangan Lupa, Perbarui Taubat!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُون

“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.”[6]

Taubat menunjukkan tanda totalitas seorang dalam menghadapi Ramadhan. Dia ingin memasuki Ramadhan tanpa adanya sekat-sekat penghalang yang akan memperkeruh perjalanan selama mengarungi Ramadhan.

Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk bertaubat, karena taubat wajib dilakukan setiap saat. Allah ta’alaberfirman,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٣١)

Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An Nuur: 31).

Taubat yang dibutuhkan bukanlah seperti taubat yang sering kita kerjakan. Kita bertaubat, lidah kita mengucapkan, “Saya memohon ampun kepada Allah”, akan tetapi hati kita lalai, akan tetapi setelah ucapan tersebut, dosa itu kembali terulang. Namun, yang dibutuhkan adalah totalitas dan kejujuran taubat.

Jangan pula taubat tersebut hanya dilakukan di bulan Ramadhan sementara di luar Ramadhan kemaksiatan kembali digalakkan. Ingat! Ramadhan merupakan momentum ketaatan sekaligus madrasah untuk membiasakan diri beramal shalih sehingga jiwa terdidik untuk melaksanakan ketaatan-ketaatan di sebelas bulan lainnya.

Wahai kaum muslimin, mari kita persiapkan diri kita dengan memperbanyak amal shalih di dua bulan ini, Rajab dan Sya’ban, sebagai modal awal untuk mengarungi bulan Ramadhan yang akan datang sebentar lagi.

Ya Allah mudahkanlah dan bimbinglah kami. Amin.

Waffaqaniyallahu wa iyyakum.