Rabu, 31 Juli 2013

Agama Islam Adalah Agama Yang Haq

Agama Islam Adalah Agama Yang Haq (Benar) Yang Dibawa Oleh Nabi Muhammad,

Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Dengan Islam, Allah Subhanahu wa Taala mengakhiri serta menyempurnakan agama-agama lain utk para hambaNya. Dengan Islam pula, Allah Subhanahu wa Taala menyempurnakan kenikmatanNya & meridhai Islam sebagai agama. Agama Islam adalah agama yg benar & satu-satunya agama yg diterima Allah, kepercayaan selain Islam tdk akan diterima Allah.
Allah Subhanahu wa Taala berfirman.
Artinya: Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, & dia di akhirat termasuk orang-orang yg rugi. (Ali Imran: 85)
Allah Azza wa Jalla telah mewajibkan kepada seluruh manusia utk memeluk agama Islam karena Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam diutus utk seluruh manusia, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla:
Artinya: Katakanlah: Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yg mempunyai kerajaan langit & bumi, tdk ada yg berhak disembah selain Dia, Yang menghidupkan & Yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah & RasulNya, Nabi yg ummi yg beriman kepada Allah & kepada Kalimat-KalimatNya (Kitab-Kitab-Nya) & ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk (Al-Araaf: 158)
Hal ini juga sesuai dg sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Artinya: Demi yg diri Muhammad ada di tangan Allah, tidaklah mendengar seorang dari ummat Yahudi & Nasrani yg mendengar diutusnya Muhammad, kemudian dia mati dalam keadaan tdk beriman dg apa yg diutus dengannya (Islam), niscaya dia termasuk penghuni Neraka.
Mengimani Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam, artinya membenarkan dg penuh penerimaan & kepatuhan pd seluruh apa yg dibawanya bukan hanya membenarkan semata. Oleh karena itulah Abu Thalib (paman Nabi Shallallahu alaihi wa sallam) termasuk kafir, yaitu orang yg tdk beriman kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam meskipun dia membenarkan apa yg dibawa oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam & dia membenarkan pula bahwa Islam adalah agama yg terbaik.
Agama Islam mencakup seluruh kemaslahatan yg terkandung di dalam agama-agama terdahulu. Islam memiliki keistimewaan, yaitu cocok & sesuai utk setiap masa, tempat & kondisi ummat.
Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran dg membawa kebenaran, membenarkan apa yg sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) & batu ujian terhadap kitab-kitab yg lain(Al-Maa-idah: 48)
Islam dikatakan cocok & sesuai di setiap masa, tempat & kondisi ummat maksudnya adalah berpegang teguh kepada Islam tdk akan menghilangkan kemaslahatan ummat bahkan, dg Islam ini ummat akan menjadi baik, sejahtera, aman & sentausa. Tetapi harus diingat bahwa Islam tdk tunduk terhadap masa, tempat & kondisi ummat sebagaimana yg dikehendaki oleh sebagian orang. Apabila ummat manusia menginginkan keselamatan di dunia & di akhirat, maka mereka harus masuk Islam & tunduk dalam melaksanakan syariat Islam.
Agama Islam adalah agama yg benar, Allah menjanjikan kemenangan kepada orang yg berpegang teguh kepada agama ini dg baik, namun dg syarat mereka harus mentauhidkan Allah, menjauhkan segala perbuatan syirik, menuntut ilmu syari & mengamalkan amal yg shalih.
Allah Subhanahu wa Taala berfirman.
Artinya: Dia-lah yg mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-Quran) & agama yg benar utk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tdk menyu-kainya. (At-Taubah: 33)
Artinya: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yg beriman di antara kamu & mengerjakan amal-amal yg shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yg telah diridhaiNya utk mereka, & Dia benar-benar akan merubah (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahKu dg tiada mempersekutukan sesuatu apapun dg Aku. Dan barangsiapa yg (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang yg fasik. (An-Nuur: 55)
Islam adalah agama yg sempurna dalam aqidah & syariat. Bentuk kesempurnaannya di antaranya adalah
. Memerintahkan bertauhid & melarang syirik. . Memerintahkan utk berbuat jujur & melarang bersikap bohong. . Memerintahkan utk berbuat adil & melarang bersikap zhalim. . Memerintahkan utk bersikap amanah & melarang ingkar janji. . Memerintahkan utk menepati janji & melarang bersikap khianat. . Memerintahkan utk berbakti kepada ibu-bapak serta me-larang mendurhakainya.
Dan yg lainnya.
Secara umum Islam memerintahkan agar berakhlak yg mulia, bermoral baik & melarang bermoral buruk. Islam juga memerintahkan setiap perbuatan baik, & melarang perbuatan yg buruk
Allah Subahanahu wa Taala berfirman.
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil & berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, & Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran & permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. ( An-Nahl: 90)
Islam didirikan atas lima dasar, sebagaimana yg tersebut dalam sebuah hadits yg diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda
Artinya: Islam dibangun atas lima hal, (yaitu); (1) bersaksi bahwa tdk ada yg berhak disembah dg benar melainkan hanya Allah, (2) & bahwa Muhammad adalah utusan Allah, (3) menegakkan shalat, (4) membayar zakat, (5) berpuasa di bulan Ramadhan & menunaikan haji ke Baitullah."
Rukun Islam ini wajib diimani, diyakini & wajib diamalkan oleh setiap muslim & muslimah.
Pertama: Kesaksian tdk ada yg berhak diibadahi dg benar kecuali Allah Azza wa Jalla & Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam adalah hamba serta RasulNya merupakan keyakinan yg mantap, yg diekspresikan dg lisan. Dengan kemantapannya itu, seakan-akan ia dapat menyaksikanNya.
Syahadah (kesaksian) merupakan satu rukun padahal yg disaksikan itu ada dua hal, ini dikarenakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah penyampai risalah dari Allah Azza wa Jalla. Jadi, kesaksian bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba & utusan Allah Azza wa Jalla merupakan kesempurnaan kesaksian Laa ilaha illa Allah, tdk ada yg berhak diibadahi dg benar kecuali Allah.
Syahadatain (dua kesaksian) tersebut merupakan dasar sah & diterimanya semua amal. Amal akan sah & diterima bila dilakukan dg keikhlasan hanya karena Allah Azza wa Jalla & mutabaah (mengikuti) Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ikhlas karena Allah Azza wa Jalla terealisasi pd Syahadat (kesaksian) laa ilaha illallah, tdk ada yg berhak diibadahi dg benar kecuali Allah. Sedangkan mutabaah / mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terealisasi pd kesaksian bahwa Muhammad adalah hamba serta Rasul-Nya.
Faedah terbesar dari dua kalimat syahadat tersebut adalah membebaskan hati & jiwa dari penghambaan terhadap makhluk dg beribadah hanya kepada Allah saja serta tdk mengikuti melainkan hanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Kedua: Mendirikan shalat artinya beribadah kepada Allah dg mengerjakan shalat wajib lima waktu secara istiqamah serta sempurna, baik waktu maupun caranya. Shalat harus sesuai dg contoh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam
Artinya: Shalatlah kalian sebagaimana engkau melihatku shalat.
Salah satu hikmah shalat adalah mendapat kelapangan dada, ketenangan hati, & menjauhkan diri dari perbuatan keji & mungkar.
Ketiga: Mengeluarkan zakat artinya, beribadah hanya kepada Allah Azza wa Jalla dg menyerahkan kadar yg wajib dari harta-harta yg harus dikeluarkan zakatnya.
Salah satu hikmah mengeluarkan zakat adalah membersihkan harta, jiwa & moral yg buruk, yaitu kekikiran serta dapat menutupi kebutuhan Islam & ummat Islam, menolong orang fakir & miskin.
Keempat: Puasa Ramadhan artinya, beribadah hanya kepada Allah dg cara meninggalkan hal-hal yg dapat membatalkan di siang hari di bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh).
Salah satu hikmahnya ialah melatih jiwa utk meninggalkan hal-hal yg disukai karena mencari ridha Allah Azza wa Jalla.
Kelima: Naik Haji ke Baitullah (rumah Allah), artinya beribadah hanya kepada Allah dg menuju ke al-Baitul Haram (Kabah di Makkah al-Mukarramah) utk mengerjakan syiar / manasik Haji.
Salah satu hikmahnya adalah melatih jiwa utk mengerahkan segala kemampuan harta & jiwa agar tetap taat kepada Allah Azza wa Jalla. Oleh karena itu Haji merupakan salah satu macam jihad fi sabilillah.
(Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M) __ Foote Note . HR. Muslim (I/134, no. 153), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu . Mutafaqun alaihi. HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Iman pd bab Qaulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallm: (Èõäöíó ÇúáÅöÓúáÇóãõ Úóáóì ÎóãúÓò) no. 8, Muslim dalam Kitabul Iman bab Arkanul Islam no. 16, Ahmad (II/26, 93, 120, 143), at-Tirmidzi (no. 2609) & an-Nasa-i (VIII/107) . HR. Al-Bukhari (no. 631), dari Shahabat Malik bin Khuwairits radhiyallahu 'anhu . Lihat QS. Al-Ankabut: 45. . Lihat QS. Al-Baqarah: 43. . Lihat QS. Ali Imran: 96. . Diringkas & ditambah dari kutaib Syarhu Ushuulil Iimaan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (hal. 4-10) Penulis: Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas & diterbitkan oleh almanhaj.or.id

Sabtu, 20 Juli 2013

Terbukanya Tirai Kegaiban

terbukanya TirainKeghaiban)

Kasyaf (Terbukanya Tirai Keghaiban)
Kasyaf (Terbukanya Tirai Keghaiban)
Kasyaf tidak hanya terjadi pada diri seorang nabi atau rasul yang dibekali dengan mukjizat, tetapi manusia biasa yang mencapai maqam spiritual tertentu juga bisa menyaksikannya, walaupun sudah barang tentu, kapasitas kasyaf tersebut berbeda dengan penyaksian yang dialami oleh para nabi atau rasul.

Pada suatu hari yang amat panas, Rasulullah Saw. berjalan menuju kompleks makam Baqi’ Al-Garqad. Pada saat itu, sekelompok orang berjalan mengikutinya. Ketika mendengar suara sandal, Rasulullah Saw. sadar (kalau ia sedang dibuntuti). Rasulullah Saw. lalu mempersilakan mereka lebih dahulu. Ketika mereka berlalu, tiba-tiba Beliau memperhatikan dua makam baru yang isinya dua laki-laki. Rasulullah Saw. berdiri dan bertanya, siapa orang yang berada di dalam makam ini? Mereka menjawab fulan dan fulan. Mereka kembali bertanya kepada Rasulullah Saw., apa gerangan yang terjadi dengan makam baru itu? Rasulullah menjawab bahwa salah seorang di antara keduanya dulu tidak bersih kalau ia membuang air kecil dan yang satunya selalu berjalan menebar adu domba.

Lalu Rasulullah Saw. mengambil pelepah daun kurma yang masih basah, sahabat bertanya untuk apa itu dilakukan? Dijawab oleh Beliau, “Agar Allah SWT meringankan siksaan terhadap keduanya.” Mereka bertanya lagi, “Sampai kapan keduanya diazab?” Beliau menjawab, “Ini hal yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya selain Allah SWT. Seandainya hati kalian tidak dilanda keraguan dan tidak banyak bicara, niscaya kalian akan mendengar apa yang sedang aku dengar.” (HR. Ahmad).

Dalam riwayat lain dijelaskan, Hanzalah bin Al-Rabi’Al-Usaidi berkata, "Abu Bakar datang kepadaku lalu bertanya, "Apa yang terjadi dengan dirimu?" Hanzalah menjawab, "Aku telah menjadi seorang munafik". Abu Bakar berkata, "Subhanallah, kamu berkata apa?" Lalu, aku jawab, "Kita berada di samping Nabi saat Beliau menjelaskan kepada kita tentang surga dan neraka. Saat itu seolah-olah kita sedang menyaksikan surga dan neraka dengan mata kepala sendiri. Namun, ketika keluar dari majelis Beliau, kita tenggelam dengan urusan anak istri dan hal-hal lain yang sia-sia, kita banyak lupa"." Abu Bakar bertanya, "Demi Allah sesungguhnya kami pun mengalami keadaan seperti itu?"

Lalu, Abu Bakar berangkat hingga kami masuk ke ruangan Rasulullah Saw., saat itu aku berkata, "Hanzalah menjadi seorang munafik wahai Rasulullah!" Beliau bertanya, "Apa yang terjadi?" Lalu, aku jawab, "Kami berada di samping Engkau saat Engkau menjelaskan kepada kami tentang neraka dan surga. Saat itu seolah-olah kami melihat surga dan neraka dengan mata kepala sendiri. Namun, ketika kami keluar dari sisimu, kami tenggelam oleh urusan anak, istri, dan hal-hal yang sia-sia, kami banyak lupa."

Lalu, Nabi menjawab, “Demi Dzat Yang Maha Menguasai jiwaku, seandainya kalian terus-menerus mengalami apa yang kalian alami saat berada di sisiku dan terus-menerus berdzikir, niscaya para malaikat akan menyalami kalian di tempat-tempat pembaringan kalian dan di jalan-jalan yang kalian lalui. Hanya saja wahai Hanzalah, itu hanya terjadi sewaktu-waktu.” Beliau mengulang-ulangi perkataan ini tiga kali. (HR. Muslim dan Tirmidzi).

Dalam riwayat lain juga dijelaskan, sebagaimana diceritakan oleh Imam Bukhari dalam Kitab “Jam'ul Fawaid”. Imam Bukhari meriwayatkan dari Usaid bin Hudhair, ketika ia membaca Surah Al-Baqarah di malam hari, sementara kudanya ditambatkan di sampingnya tiba-tiba kudanya meronta-ronta. Ia menenangkan kudanya hingga tenang lalu melanjutkan bacaannya lagi, kembali kudanya meronta-ronta, kemudian ia kembali menenangkan lagi. Kejadian ini berulang tiga kali. Ia juga memperingatkan anaknya bernama Yahya agar menjauhi kudanya agar tidak disakiti.

Usaid menengadah ke langit dan disaksikannya ada naungan yang di dalamnya terdapat pelita besar. Ketika pagi tiba, ia melaporkan kejadian ini kepada Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. berkata, "Bacalah terus (Al Qur'an itu) wahai Usaid!" diulangi tiga kali. Aku juga menengok ke langit ternyata aku juga menemukan hal yang sama. Rasulullah Saw. memberikan komentar, "Itu adalah para malaikat yang mendekati suaramu. Seandainya kamu terus membaca (Al Qur'an) keesokan paginya, manusia akan melihat para malaikat yang tidak lagi menyembunyikan wujudnya dari mereka."

Ketiga hadits shahih di atas mengisyaratkan adanya penyingkapan (kasyaf), yaitu kemampuan seseorang untuk melihat atau menyaksikan sesuatu yang bersifat ghaib, seperti melihat, mendengar, atau merasakan adanya suasana ghaib. Apa yang disaksikan itu berada di luar kemampuan dan jangkauan akal pikiran manusia normal. Kasyaf dapat diakses oleh siapa saja yang memiliki kedekatan khusus dengan Allah SWT.

Hal itu ditekankan oleh Syaikh Yusuf ibn Ismail An-Nabhani dalam karya monumentalnya berjudul “Jami’ Karamat Al-Auliya”. Dalam kitab yang memuat biografi 695 wali (di luar wali-wali yang muncul di Asia Tenggara) itu, terlihat jelas betapa para wali rata-rata memiliki kemampuan untuk menggapai mukasyafah. Termasuk di dalamnya Imam Ghazali, Ibnu Arabi, dan Imam Syafi’i. Bentuk kasyafnya bermacam-macam. Sesuai kondisi objektif kehidupan para wali tersebut.

Rasulullah Saw. juga pernah menegaskan, “Seandainya hati kalian tidak dilanda keraguan dan tidak mengajak kalian untuk banyak bicara, niscaya kalian akan mendengar apa yang sedang aku dengar.” Dalam hadits lain, sebagaimana dinukilkan dari kitab “Ihya Úlum Al-Din”, Rasulullah Saw. bersabda, ”Seandainya bukan karena setan yang menyelimuti kalbu anak cucu Adam maka niscaya mereka akan dengan mudah menyaksikan para malaikat gentayangan di jagat raya kita.”

Di dalam Al Qur'an juga ada isyarat yang memungkinkan seseorang memperoleh kasyaf. Ada beberapa ayat yang mengisyarakatkan demikian. Di antaranya, ayat 37 Surah Qaaf. “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikannya.” Ini diperkuat pula dengan ayat 69 Surah Al-Ankabut. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan, sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

Namun, Syaikh Ibnu Atha'illah mengingatkan kepada kita, jangan sampai lebih mengutamakan mencari kasyaf. Pernyataannya itu seperti termaktub dalam kitab “Hikam”-nya. Ia berkata, “Melihat aib di dalam batin lebih baik daripada melihat ghaib yang tertutup darimu.” “Boleh jadi Allah memperlihatkan kepadamu hal-hal yang ghaib kerajaan-Nya dan menutup kemampuanmu untuk meneliti rahasia-rahasia hamba-Nya, namun tidak berakhlak dengan sifat kasih Tuhan, niscaya penglihatannya menjadi fitnah baginya dan menyebabkan terperosok ke dalam bencana.”

Sa'id Hawwa berkomentar dalam bukunya yang berjudul Tarbiyyatuna Al-Ruhiyyah”. Menurutnya, mengedepankan pesan khusus, jangan sampai kasyaf yang diperoleh malah menjadi hijab tebal bagi yang bersangkutan. Pernyataan Sa'id Hawwa ini sejalan dengan ayat Al Qur'an, “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jika Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al-An’am [6]:112).

Dalam ayat lain disempurnakan, “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Alkitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat.” “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)-nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung pada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya di ulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga).” (QS. Al-A’raaf [7] : 175-177).

Ayat di atas memungkinkan seseorang yang sudah menggapai kasyaf, namun mendewa-dewakannya dan menceritakan kemana-mana pengalaman batin tersebut. Jika muncul perasaan bangga ketika ia mendapatkan pujian dari orang lain maka kasyaf inilah yang justru akan menjerumuskannya ke bawah. Sebaliknya, ada pendosa besar jatuh ke bawah tetapi kemudian melenting kembali ke puncak, lantaran bangkitnya kesadarannya untuk melakukan pertobatan besar, sehingga ia berkeyakinan dosa yang baru saja dilakukannya adalah dosa terakhir dari seluruh dosa yang pernah dilakukannya. Jadi, sebuah contoh yang kontras; seorang terjun ke dunia kehinaan lantaran takabur dalam menerima kasyaf. Sebaliknya, seorang pendosa besar lalu insyaf dan tobat, maka ia memantulkan diri ke atas melampaui tingkatan spiritual sebelumnya.

Kesiapan Menerima Pancaran Cahaya

Kesiapan Menerima Pancaran Cahaya

Kesiapan Menerima Pancaran Cahaya

Datangnya anugerah itu menurut kadar kesiapan jiwa, sedangkan pancaran cahaya-Nya menurut kadar kebeningan rahasia jiwa. Anugerah, berupa pahala dan ma’rifat serta yang lainnya, sesungguhnya tergantung kesiapan para hamba Allah. Rasulullah Saw bersabda:

“Allah SWT berfirman di hari kiamat (kelak): “Masuklah kalian ke dalam syurga dengan rahmat-Ku dan saling menerima bagianlah kalian pada syurga itu melalui amal-amalmu.” Lalu Rasulullah Saw, membaca firman Allah Ta’ala: “Dan syurga yang kalian mewarisinya adalah dengan apa yang kalian amalkan.” (QS. Az-Zukhruf: 72)

Adapan pancaran cahaya-cahaya-Nya berupa cahaya yaqin dan iman menurut kadar bersih dan beningnya hati dan rahasia hati. Beningnya rahasia hati diukur menurut kualitas wirid dan dzikir seseorang.

Dalam kitabnya Latha'iful Minan, Syaikh Ibnu Atha'illah as-Sakandari menegaskan, “Ketahuilah bahwa Allah Ta’ala menanamkan cahaya tersembunyi dalam berbagai ragam taat. Siapa yang kehilangan taat satu macam ibadah saja dan terkaburkan dari keselarasan Ilahiyah satu macam saja, maka ia telah kehilangan nur menurut kadarnya masing-masing. Karenanya jangan mengabaikan sedikit pun atas ketaatan kalian. Jangan pula merasa cukup wirid anda, hanya karena anugerah yang tiba. Jangan pula rela pada nafsu anda, sebagaimana diklaim oleh mereka yang merasa dirinya telah meraih hakikat dalam ungkapannya, sedangkan hatinya kosong…” Jangan keblinger dengan Cahaya atau bentuk Cahaya sebagaimana tergambar dalam pengalaman mengenai Cahaya lahiriyah, baik yang berwarna warni atau satu warna. Cahaya batin sangat berhubungan erat dengan kebeningan batin, tidak ada rupa dan warna yang tercetak. Melainkan pancaran Cahaya keyakinan total kepada-Nya.

Dalam kitab Al-Hikam dijelaskan: “Bagaimana hati bisa cemerlang jika wajah semesta tercetak di hatinya? Bagaimana bisa berjalan menuju Allah sedangkan punggungnya dipenuhi beban syahwatnya? Bagaimana berharap memasuki hadhirat Ilahi sedangkan ia belum bersuci dari jinabat kealpaannya? Atau bagaimana ia faham detil rahasia-rahasia-Nya, sedangkan ia tidak taubat dari kelengahannya?”

Semesta kemakhlukan adalah awal dari hijab Cahaya, dan ikonnya ada pada nafsu syahwat dan kealpaannya. “Siapa yang cemerlang di awal penempuhannya akan cemerlang pula di akhir perjalanannya.” Kecemerlangan ruhani dengan niat suci bersama Allah dalam awal perjalanan hamba, adalah wujud pantulan Cahaya yang diterima hamba-Nya, karena yang bersama Allah awalnya akan bersama Allah di akhirnya.

“Orang-orang yang sedang menempuh perjalanan menuju kepada Allah menggunakan petunjuk Cahaya Tawajjuh (menghadap Allah) dan orang-orang yang sudah sampai kepada Allah, baginya mendapatkan Cahaya Muwajahah (limpahan Cahaya). Kelompok yang pertama demi meraih Cahaya, sedangkan yang kedua, justru Cahaya-cahaya itu bagi-Nya. Karena mereka hanya bagi Allah semata, bukan untuk lain-Nya. Sebagaimana dalam Al Qur’an, “Katakan, Allah” lalu tinggalkan mereka (selain Allah) terjun dalam permainan.” Itulah hubungan Cahaya dengan para penempuh dan para ‘arifun, begitu jauh berbeda.

“Cahaya adalah medan qalbu dan rahasia qalbu. Cahaya adalah pasukan qalbu, sebagaimana kegelapan adalah pasukan nafsu. Bila Allah hendak menolong hamba-Nya, maka Allah melimpahkan padanya pasukan-pasukan Cahaya, dan memutus lapisan kegelapan dan tipu daya.”

Wilayah Cahaya adalah qalbu, ruh dan sirr. Cahaya akan memancar sebagai instrument, wujud adalah hakikat yaqin yang memancar melalui instrumen pengetahuan yang dalam tentang Allah. “Allah mencahayai alam lahiriyah melalui Cahaya-cahaya makhluk-Nya. Dan Allah mencahayai rahasia batin (sirr) melalui Cahaya-cahaya Sifat-Nya. Karena itulah cahaya semesta lahiriyah bisa sirna, dan Cahaya qalbu dan sirr tidak pernah sirna.”

Pencerahan Cahaya menurut kebeningan rahasia batin jiwa
“Shalat merupakan tempat munajat dan sumber penjernihan dimana medan-medan rahasia batin terbentang, dan di dalamnya Cahaya-cahaya memancarkan pencerahan.” Karena itu cita dan hasrat anda, hendaknya pada penegakan shalat, bukan wujud shalatnya.

“Apabila cahaya yaqin memancar padamu, pasti anda lebih dekat pada akhirat dibanding jarak anda menempuh akhirat itu sendiri. Dan bila anda tahu kebaikan dunia, pasti menampakkan gerhana kefanaan pada dunia itu sendiri.” Maksudnya, nuansa ukhrowi menjadi lapisan baju anda, yang melapisi Nuansa Ilahi. Segalanya terasa dekat tanpa jarak padamu.

“Tempat munculnya Cahaya adalah hati dan rahasia jiwa. Cahaya yang ditanamkan dalam hati adalah limpahan dari Cahaya yang menganugerah dari khazanah rahasia yang tersembunyi. Ada Cahaya yang tersingkapkan melalui makhluk-makhluk semesta, dan ada Cahaya yang tersingkapkan dari Sifat-sifat-Nya. Terkadang hati sejenak terhenti dengan Cahaya-cahaya, sebagaimana nafsu tertirai oleh alam kasar dunia.” Itulah ragam Cahaya, ada Cahaya muncul dari kemakhlukan ada pula Cahaya Sifat-Nya. Tetapi, jangan sampai Cahaya jadi tujuan, agar tidak terhijabi hati kita dari Sang Pemberi Cahaya, sebagaimana terhijabinya nafsu oleh alam kasar dunia.

“Cahaya-cahaya rahasia jiwa ditutupi oleh Allah melalui wujud kasarnya alam semesta lahiriyah, demi mengagungkan Cahaya itu sendiri, sehingga Cahaya tidak terobralkan dalam wujud popularitas penampakan.” Itulah Cahaya yang melimpahi para ‘arifin, auliya’ dan para sufi, yang dikemas oleh cover tampilan manusia biasa. Sebagaimana Rasulullah Saw, disebutkan , “Bukanlah Rasul itu melainkan manusia seperti kalian, makan sebagaimana kalian makan, minum sebagaimana kalian minum.” Ini semua untuk menjaga agar para hamba tidak berambisi popularitas, dan merasa bahwa Cahaya itu muncul karena upayanya.

Cahaya-cahaya para Sufi mendahului wacananya. Ketika Cahaya muncul maka muncullah wacana
Para Sufi dan arifun berbicara dan berwacana, bukan karena aksioma logika, tetapi karena limpahan Cahaya, baru muncul menjadi mutiara kata. Sementara para Ulama, wacananya mendahului cahayanya.

“Ada Cahaya yang diizinkan untuk terbiaskan, ada pula Cahaya yang diizinkan masuk di dalam jiwa.” Ada Cahaya yang hanya sampai di lapis luar hati, tidak masuk ke dalam hati, sebagaimana orang yang menasehati tentang hakikat tetapi dia sendiri belum sampai ke sana. Ada Cahaya yang menghujam dalam jiwa, dan dada menjadi meluas, dengan ditandainya sikap merasa hampa pada negeri dunia penuh tipu daya, dan menuju negeri keabadian, serta menyiapkan diri menjemput maut.

“Janganlah anda menginginkan agar warid menetap terus menerus setelah Cahaya-cahayanya membias dan rahasia-rahasia-Nya tersembunyi.” Itulah perilaku para pemula, biasanya ingin agar Cahaya-cahaya warid itu menetap terus menerus. Padahal suatu kebodohan tersendiri, karena penempuh akan lupa pada Sang Pencahaya.

“Sesungguhnya suasana keistemewaan itu ibarat pancaran matahari di siang hari yang muncul di cakrawala, tetapi Cahaya itu tidak dari cakrawala itu sendiri, dan kadang muncul dari matahari Sifat-sifat-Nya di malam wujudmu. Dan kadang hal itu tergenggam darimu lalu kembali pada batas-batas dirimu. Siang (Cahaya) bukanlah darimu untukmu. Tetapi limpahan anugerah padamu.”

“Cahaya qalbu dan rahasia jiwa tidak diketahui melainkan di dalam keghaiban alam malakut. Sebagaimana Cahaya langit tidak akan tampak melainkan dalam alam nyata semesta” Orang yang mampu memasuki alam malakut adalah yang dibukakan Cahaya qalbu dan jiwanya. Begitu juga nuansa pencerahan Cahaya qalbu dan rahasia qalbu itu, merupakan rahasia tersembunyi di alam Malakut.

Dan lain sebagainya, yang menggambarkan soal pencahayaan ini. Karena berbagai ragam, bisa memberikan sentuhan Cahaya, apakah Cahaya qalbu, Cahaya ruh dan Cahaya Sirr yang memiliki karakteristik berbeda-beda dalam kondisi ruhani para hamba Allah.

Adab Mencari Ilmu

» Adab Mencari Ilmu (Tasawuf)

Adab Mencari Ilmu (Tasawuf)
Duduk untuk bermudzakaroh (belajar ilmu) akan menutup pintu manfaat, sedangkan duduk untuk saling memberi nasihat akan membuka pintu manfaat
Syaikh Abu Nashr as-Sarraj berkata, "Saya mendengar Ahmad bin Ali al-Wajihi berkata, saya mendengar Abu Muhammad al-Jariri berkata, “Duduk untuk bermudzakaroh (belajar ilmu) akan menutup pintu manfaat, sedangkan duduk untuk saling memberi nasihat akan membuka pintu manfaat.”

Syaikh Abu Yazid berkata, “Barangsiapa tidak bisa mengambil manfaat dari diamnya orang yang berbicara, maka ia tidak akan bisa mengambil manfaat dari pembicaraannya.”

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata, “Mereka (kaum Sufi) sangat tidak suka bila lisan melampaui keyakinan hati.”

Disebutkan bahwa Abu Muhammad al-Jariri berkata, “Keadilan dan adab ialah hendaknya orang yang mulia tidak membicarakan ilmu ini (tasawuf, sehingga ia ditanya).” Abu Ja’far al-Faraji, sahabat karib Abu Turab an-Nakhsyabi berkata, “Aku tinggal diam selama dua puluh tahun tidak bertanya suatu persoalan kecuali bila aku mantapkan terlebih dahulu sebelum aku menyatakan dengan lisanku.”

Abu Hafsh berkata, “Tidak dibenarkan berbicara kecuali bagi seseorang yang apabila ia diam malah mendapatkan siksa.”

la juga berkata, "Ada seseorang datang pada Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalla’ yang menanyakan tentang masalah tawakal. Saat itu ada sekelompok orang (jama'ah), maka ia tidak menjawabnya dan masuk ke dalam kamarnya, kemudian ia keluar lagi dengan membawa seikat kain yang berisi empat dananiq (mata uang) yang diberikan kepada mereka. Kemudian ia berkata kepada mereka, "Dengan uang ini silakan kalian membeli sesuatu." Kemudian ia baru mau menjawab apa yang ditanyakan orang tersebut. Kemudian ia ditanya, "Mengapa ia melakukan hal itu?" Maka ia menjawab, "aku malu pada Allah untuk menjawab masalah tawakal sedangkan aku masih memiliki empat dananiq.”

Dikisahkan dari Abu Abdillah al-Hushri yang berkata: Saya pernah berkata kepada Ibnu Yazdaniar ketika ia sedang mencari ilmu, "Aku tidak melihat apa yang ada pada semua makhluk kecuali kabar tentang ghaib dan sangat mungkin anda adalah yang gaib.” Kemudian ia berkata, “Coba ulangi apa yang anda katakan.” Lalu saya menjawabnya, “Saya tidak akan mengulanginya.”

Ibrahim al-Khawwash berkata, “Ilmu ini tidak layak kecuali bagi mereka yang mampu mengungkapkan wajd (suka cita ruhani)nya dan berbicara tentang perbuatannya.”

Abu Ja’far ash-Shaidalani berkata: Ada seseorang bertanya suatu masalah kepada Abu Sa'id al-Kharraz. la hanya memberi isyarat tentang masalah yang ditanyakan. Abu Sa'id kemudian berkata, “Kami telah mencapai kedudukan anda dan sepakat dengan apa yang Anda inginkan tanpa harus dengan isyarat dari Anda. Sebab orang yang banyak memberi isyarat pada Allah adalah orang yang paling jauh dari-Nya.”

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata, “Andaikan aku tahu, bahwa di kolong langit ini ada ilmu yang lebih mulia daripada ilmu kami ini (tasawuf), niscaya aku akan berusaha mencarinya dan menemui orang yang memilikinya, sehingga aku mendengar dari mereka tentang ilmu tersebut. Dan andaikan aku tahu, bahwa ada waktu yang lebih mulia daripada waktu kami ini ketika berkumpul dengan para sahabat dan guru kami, dan ketika kami menanyakan berbagai masalah dan mencari ilmu ini, tentu aku akan bangkit mencarinya.”

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata, “Bagiku tidak ada kelompok manusia dan kaum yang berkumpul untuk mencari ilmu yang lebih mulia dari kelompok ini.
Tidak pula ada ilmu yang lebih mulia dari ilmu mereka. Andaikan tidak demikian, maka aku tak mungkin duduk dan berteman dengan mereka. Namun karena mereka dalam pandanganku adalah seperti apa yang aku ucapkan maka aku lakukan semua itu.”

Abu Ali ar-Rudzabari berkata, “Ilmu kami ini adalah ilmu isyarat. Apabila menjadi suatu ungkapan maka akan ringan bobotnya.”

Abu Said al-Kharraz berkata, “Aku diberi tahu tentang Abu Hatim al-Aththar dan keutamaannya, dimana ia tinggal di Basrah. Kemudian dari Mesir, aku berangkat menuju Basrah. Sampai di sana kemudian aku masuk masjid Jami' Basrah. Ternyata ia duduk di masjid ini, yang di sekelilingnya banyak orang dari sahabat-sahabatnya. la berbicara kepada mereka tentang ilmu. Pertama kali yang aku dengar dari pembicaraannya setelah ia melihatku ialah, aku duduk hanya untuk seseorang. Lalu di mana seseorang tersebut? Dan siapa untukku dengan seseorang tersebut? Kemudian ia memberi isyarat padaku, "Orang tersebut adalah Anda." Kemudian ia berkata, "Menampakkan apa yang menjadikan mereka ahli, membantu mereka apa yang diwajibkan kepada mereka, menjadikan ghaib apa yang dihadirkan pada mereka. Maka hanya untuk-Nya mereka berbuat, dari-Nya dan kepada-Nya mereka kembali’.”

Dikisahkan dari Syaikh Junaid al-Baghdadi yang mengatakan, “Andaikan ilmu kami ini dibuang ke tempat sampah, maka setiap orang hanya akan mengambil sesuai dengan ukurannya.”

Dikisahkan dari asy-Syibli, pada suatu hari ia pernah berkata kepada anggota majelisnya, “Kalian adalah leontin dari kalung, dimana mimbar-mimbar dari cahaya dipasang untuk kalian dan para malaikat merasa bahagia dengan kalian.” Kemudian ada seseorang bertanya kepadanya, “Apa yang menjadikan para malaikat merasa bahagia?” la menjawab, “Karena mereka berbicara tentang ilmu ini (tasawuf).”

Saya mendengar Ja'far al-Khuldi berkata: Saya mendengar al-Junaid berkata:
Sari as-Saqathi pernah berkata, “Sebagaimana yang saya dengar, bahwa ada sekelompok orang di masjid Jami' yang duduk di sekeliling Anda.” Saya jawab, “Ya, benar! Mereka adalah saudara-saudara kami, dimana kami saling
ber-mudzakarah (belajar) ilmu. Masing-masing di antara kami saling mengambil manfaat antara yang satu dengan yang lain.” Kemudian ia berkata, “Alangkah jauhnya wahai Abu al-Qasim (nama panggilan al-Junaid), saya sekarang telah menjadi tempat bagi para penganggur.”

Dikisahkan dari Syaikh Junaid al-Baghdadi yang mengatakan, “Jika Sari as-Saqathi ingin mengajariku sesuatu maka ia menanyakan suatu masalah. Suatu hari ia pernah bertanya, "Wahai anak muda, apa syukur itu?" Maka aku menjawabnya, "Syukur ialah anda tidak bermaksiat kepada Allah atas segala nikmat yang diberikan kepada anda." Akhirnya ia menganggap baik atas jawabanku. la memintaku untuk mengulang jawabanku tentang syukur sembari berkata, "Bagaimana jawabanmu tentang syukur? Coba ulangi jawabanmu!" Aku kemudian mengulanginya.”

Syaikh Abu Nashr as-Sarraj berkata: Aku dapatkan kisah ini lewat tulisan Abu Ali ar-Rudzabari dari Syaikh Junaid al-Baghdadi. Diceritakan dari Sahl bin Abdullah bahwa ia pernah ditanya tentang masalah-masalah ilmu (tasawuf). Namun ia tidak mau menjawabnya. Setelah beberapa waktu, ia berbicara tentang ilmu tersebut dan tampak sangat menguasai dengan balk. Kemudian ia ditanya tentang alasan, mengapa waktu itu ia tidak mau berbicara tentang ilmu tersebut. Lalu ia menjawab, “Pada saat itu Dzun Nun masih hidup, sehingga aku sangat tidak suka bicara tentang ilmu ini (tasawuf) ketika ia masih hidup. Karena aku sangat menghormatinya.”

Abu Sulaiman ad-Darani berkata, “Andaikan di Mekkah ini aku tahu ada seseorang yang bisa memberiku ilmu ma'rifat sekalipun hanya satu kata, niscaya aku akan mendatanginya dengan berjalan kaki, sekalipun jarak yang harus ditempuh seribu farsah, sehingga aku bisa medengar langsung darinya.”
Abu Bakar az-Zaqqaq berkata, "Aku mendengar satu kalimat dari Syaikh Junaid al-Baghdadi tentang fana’ sejak empat puluh tahun yang lalu, dimana kalimat tersebut selalu membangkitkanku, sedangkan aku setelah itu dalam ketidaktahuan.”

Saya mendengar ad-Duqqi berkata: Saya mendengar kisah ini dari az-Zaqqaq.
Saya mendengar ad-Duqqi berkata: Dikatakan kepada Abu Abdillah al-Jalla’, “Mengapa ayah anda disebut dengan al-Jalla’?” la menjawab, “Bukan karena kata al-Jalla’ ini mengandung arti pembersih karat besi, akan tetapi jika ia berbicara kepada hati nurani akan memperlihatkan karat bekas dosa-dosa yang dilakukan.”

Al-Harits al-Muhasibi berkata, “Sesuatu yang paling mulia di dunia ini adalah orang alim yang mengamalkan ilmunya dan orang arif yang berbicara tentang hakikatnya.”

Saya mendengar Ibnu ‘Ulwan berkata, “Jika ada seorang bertanya kepada Syaikh Junaid al-Baghdadi tentang suatu masalah, sedangkan ia tidak termasuk dalam kondisi spiritual dari masalah yang ditanyakannya, maka ia akan berkata: "Tidak ada daya upaya dan kekuatan apa pun kecuali dengan Allah."
Dan jika orang itu mengulangi lagi pertanyaannya maka ia akan menjawabnya:
"Cukuplah Allah penolong kami dan Dialah sebaik-baik Dzat Yang menjadi Wakil’.” (QS. Ali Imran: 173).

Dikisahkan bahwa Abu Amr az-Zujajii berkata, “Jika anda sedang duduk mendengar seorang syaikh berbicara tentang suatu ilmu, sementara anda mau kencing dan hampir tidak bisa ditahan, maka andaikan anda kencing di tempat anda duduk, akan lebih baik daripada anda bangkit dari tempat duduk anda untuk meninggalkan majelis. Sebab kencing masih bisa dicuci dengan air sedangkan apa yang terlewatkan dari ilmu yang ia ajarkan tak mungkin anda memperoleh kembali untuk selamanya.”

Syaikh Junaid al-Baghdadi berkata: Saya pernah berkata kepada Ibnu al-Kurraini, “Jika ada seseorang yang berbicara tentang suatu ilmu yang ia sendiri tidak mampu mengamalkannya. Maka yang lebih anda sukai, kalau kondisinya demikian, diam ataukah berbicara?” Kemudian ia menundukkan kepala, dan kemudian mengangkatnya kembali sembari berkata, “Jika Anda ahlinya maka bicaralah!”

Asy-Syibli berkata, “Bagaimana pendapat Anda tentang suatu ilmu, yaitu ilmu para ulama yang menimbulkan dugaan?”

Sementara itu Sari as-Saqathi berkata, “Barangsiapa menghiasi dirinya dengan ilmu, maka kebaikannya adalah kejelekan.”

Syaikh Abu Nashr as-Sarraj berkata, "Dari masing-masing kisah ini memiliki keterangan dan kesimpulan yang cukup jelas bagi mereka yang sanggup memahaminya."

Jumat, 19 Juli 2013

Tauhid dan Marifatullah

Tauhid dan Makrifatullah

Menurut Syaikh Ibnu Atha'illah as-Sakandari, siapapun yang merenung secara mendalam akan menyadari bahwa semua makhluk sebenarnya menauhidkan Allah SWT lewat tarikan nafas yang halus. Jika tidak, pasti mereka akan mendapat siksa. Pada setiap zarah, mulai dari ukuran sub-atomis (kuantum) sampai atomis, yang terdapat di alam semesta terdapat rahasia nama-nama Allah. Dengan rahasia tersebut, semuanya memahami dan mengakui keesaan Allah. Allah SWT telah berfirman;

"Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari." (QS. 13:15)

Jadi, semua makhluk mentauhidkan Allah dalam semua kedudukan sesuai dengan rububiyah Tuhan serta sesuai dengan bentuk-bentuk ubudiyah yang telah ditentukan dalam mengaktualisasikan tauhid mereka. Lebih lanjut Syaikh Ibnu Atha'illah mengatakan bahwa sebagian ahli makrifat berpendapat bahwa orang yang bertasbih sebenarnya bertasbih dengan rahasia kedalaman hakikat kesucian pikirannya dalam wilayah keajaiban alam malakut dan kelembutan alam jabarut.

Sementara sang salik, bertasbih dengan dzikirnya dalam lautan qolbu. Sang murid bertasbih dengan qolbunya dalam lautan pikiran. Sang Pecinta bertasbih dengan ruhnya dalam lautan kerinduan. Sang Arif bertasbih dengan sirr-nya dalam lautan alam ghaib. Dan orang shiddiq bertasbih dengan kedalaman sirr-nya dalam rahasia cahaya yang suci yang beredar di antara berbagai makna Asma-Asma dan Sifat-sifat-Nya disertai dengan keteguhan di dalam silih bergantinya waktu. Dan dia yang hamba Allah bertasbih dalam lautan pemurnian dengan kerahasiaan Sirr al-Asrar dengan memandang-Nya, dalam ke'baqa'an-Nya.

Syaikh Muhammad Nafis al-Banjari membagi tauhid dalam konteks makrifatullah menjadi empat samudera makrifat, berikut ini uraian untuk setiap tahapan makrifat tauhid dengan interpretasi pribadi, yaitu :
Tauhid Af'al sebagai pengesaan terhadap Allah SWT dari segala macam perbuatan. Maka hanya dengan keyakinan dan penyaksian saja segala sesuatu yang terjadi di alam adalah berasal dari Allah SWT.
Tauhid Asma' adalah pengesaan Allah SWT atas segala nama. Ketika yang mewujud dinamai, maka semua penamaan pada dasarnya dikembalikan kepada Allah SWT. Allah sebagai Isim A'dham yang Maha Agung adalah asal dari semua nama-nama baik yang khayal maupun bukan. Karena dengan nama yang Maha Agung “Allah” inilah, Allah memperkenalkan dirinya.
Tauhid Sifat adalah pengesaan Allah dari segala sifat. Dalam pengertian ini maka manusia dapat berada dalam maqam Tauhid as-Sifat dengan memandang dan memusyahadahkan dengan mata hati dan dengan keyakinan bahwa segala sifat yang dapat melekat pada Dzat Allah, seperti Qudrah (Kuasa), Iradah (Kehendak), ‘Ilm (Mengetahui), Hayah (Hidup), Sama' (mendengar), Basar (Melihat), dan Kalam (Berkata-kata) adalah benar sifat-sifat Allah. Sebab, hanya Allah lah yang mempunyai sifat-sifat tersebut. Segala sifat yang dilekatkan kepada makhluk harus dipahami secara metaforis, dan bukan dalam konteks sesungguhnya sebagai suatu pinjaman.
Tauhid Dzat berarti mengesakan Allah pada Dzat. Maqam Tauhid az-Dzat menurut Syaikh al-Banjari adalah maqam tertinggi yang, karenanya, menjadi terminal terakhir dari pemandangan dan musyahadah kaum 'Arifin. Dalam konteks demikian, maka cara mengesakan Allah pada Dzat adalah dengan memandang dengan mata kepala dan mata hati bahwasanya tiada yang maujud di alam wujud ini melainkan Allah SWT Semata.

Tauhid Af'al pada pengertian Syaikh al-Banjari akan banyak berbicara tentang kehendak Allah SWT yang maujud sebagai ikhtiar dan sunnatullah manusia yaitu takdir. Apakah kemudian takdir yang dialami seseorang disebut baik atau buruk, maka itulah kehendak Allah sesungguhnya yang terealisasikan kepada semua makhluk yang memiliki kehendak bebas untuk memilah dan memilih, dengan pengetahuan terhadap aturan dan ketentuan yang sudah melekat padanya sebagai makhluk sintesis yang ditempatkan dalam suatu kontinuum ruang-waktu relatif.

Tauhid Af’al adalah Samudera Pengenalan, di samudera inilah salik sebagai pencari wasiat Allah harus mendekat ke pintu ampunan Allah untuk bertobat dan menyucikan dirinya, menyibakkan pagar-pagar awal dirinya dengan ketaatan kepada-Nya dan meninggalkan kemaksiatan pada-Nya, mendekat kepada-Nya untuk menauhidkan-Nya, beramal untuk-Nya agar memperoleh ridha-Nya. Kalau saya proyeksikan ke dalam sistem qolbu yang diulas sebelumnya mempunyai tujuh karakteristik dominan, maka di Samudera Af'al inilah seorang salik harus berjuang untuk me-metamorfosis-kan qolbunya dari dominasi nafs ammarah, menuju lawwamah, menuju mulhammah, dan mencapai ketenangan dengan nafs muthma'innah.

Dalam Samudera Asma', maka hijab-hijab tersingkap dengan masing-masing derajat dan keadaannya. Ia yang menyingkapkan, sedikit demi sedikit akan semakin melathifahkan dirinya ke dalam kelathifahan Yang Maha Qudus memasuki medan ruh ilahiah-Nya (dominasi qolbu oleh ruh yang mengenal Tuhan). Samudera Asma' adalah Samudera Munajat dan Permohonan, difirmankan oleh Allah SWT bahwa “Dan bagi Allah itu beberapa Nama yang baik (al-Asma al-Husna) maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu." (QS. 7:180). Di samudera inilah salik akan diuji dengan khauf dan raja', keikhlasan, keridhaan, kefakiran, kezuhudan, dan keadaan-keadaan ruhaniah lainnya.

Di tepian Samudera Asma' adalah lautan kerinduan yang berkilauan karena pendar-pendar cahaya rahmat dan kasih sayang Allah. Di Lautan Kerinduan atau Lautan Kasih Sayang atau Lautan Cinta Ilahi, sinar kemilau cahaya Sang Kekasih menciptakan riak-riak gelombang yang menghalus dengan cepat, menciptakan kerinduan-kerinduan ke dalam rahasia terdalam. Lautan Kerinduan adalah pintu memasuki hamparan Samudera Kerahasiaan.

Tauhid as-Sifat adalah Samudera Kerahasiaan atau Samudera Peniadaan karena di samudera inilah semua makhluk diharuskan untuk menafikan semua atribut kediriannya sebagai makhluk, semua hasrat dan keinginan, kerinduan yang tersisa dan apa pun yang melekat pada makhluk tak lebih dari suatu anugerah dan hidayah kasih sayang-Nya semata, maka apa yang tersisa dari Lautan Kerinduan atau Lautan Cinta Ilahi adalah penafian diri. Apa yang melekat pada semua makhluk adalah manifestasi dari rahmat dan kasih sayang-Nya yang dilimpahkan, sebagai piranti ilahiah yang dipinjamkan dan akan dikembalikan kepada-Nya.

Siapa yang kemudian menyalahgunakan semua pinjaman Allah ini, maka ia harus mempertanggungjawabkan dihadapan-Nya. Qolbu yang didominasi kerahasiaan ilahiah didominasi kerahasiaan sirr dengan suluh cahaya kemurnian yang menyemburat dari kemilau yang membutakan dari samudera yang paling rahasia sirr al–asrar yakni Samudera Pemurnian dari Tauhid az-Dzat.

Di tingkatan Tauhid az-Dzat segala sesuatu tiada selain Dia, inilah Samudera Penghambaan atau Samudera Pemurnian/Tanpa Warna sebagai tingkatan ruhaniah tertinggi dengan totalitas tanpa sambungan. Suatu tingkatan tanpa nama, karena semua sifat, semua nama, dan semua af’al sudah tidak ada. Bahkan dalam tingkat kehambaan ini, semua deskripsi tentang ketauhidan hanya dapat dilakukan oleh Allah Yang Mandiri, “Mengenal Allah dengan Allah”. Inilah maqam Nabi Muhammad Saw, maqam tanpa tapal batas, maqam Kebingungan Ilahiah. Maqam dimana semua yang baru termusnahkan dalam kedekatan yang hakiki sebagai kedekatan bukan dalam pengertian ruang dan waktu, tempat dan posisi. Di maqam ini pula semua kebingungan, semua peniadaan, termurnikan kembali sebagai yang menyaksikan dengan pra eksistensinya.

Ketika salik termurnikan di Samudera Penghambaan, maka ia terbaqakan didalam-Nya. Eksistensinya adalah eksistensi sebagai hamba Allah semata. Maka, di Samudera Penghambaan ini menangislah semua hati yang terdominasi rahasia yang paling rahasia (sirr al-asrar).

Aku menangis bukan karena cintaku pada-Mu dan cinta-Mu padaku,
atau kerinduan yang menggelegak dan bergejolak yang tak mampu
kutanggung dan ungkapkan.
Tapi, aku menangis karena aku tak akan pernah mampu merengkuh-Mu.
Engkau sudah nyatakan Diri-Mu Sendiri bahwa “semua makhluk akan
musnah kalau Engkau tampakkan wajah-Mu.”
Engkau katakan juga, “Tidak ada yang serupa dengan-Mu.”
Lantas, bagaimanakah aku tanpa-Mu,
Padahal sudah kuhancurleburkan diriku karena-Mu.
Aku menangis karena aku tak kan pernah bisa menyatu dengan-Mu.
Sebab,
Diri-Mu hanya tersingkap oleh diri-Mu Sendiri
Dia-Mu hanya tersingkap oleh Dia-Mu Sendiri
Engkau-Mu hanya tersingkap oleh Engkau-Mu Sendiri,
Sebab,
Engkau Yang Mandiri adalah Engkau Yang Sendiri
Engkau Yang Sendiri adalah Engkau Yang Tak Perlu Kekasih
Engkau Yang Esa adalah Engkau Yang Esa
Engkau Yang Satu adalah Engkau Yang Satu.
Maka dalam ketenangan kemilau membutakan Samudera Pemurnian-Mu,
biarkan aku memandang-Mu dengan cinta-Mu,
menjadi sekedar hamba-Mu dengan ridha-Mu,
seperti Muhammad yang menjadi Abdullah Kekasih-Mu.

Penguraian tauhid yang dilakukan oleh Syaikh al-Banjari memang didasarkan pada langkah-langkah penempuhan suluk yang lebih sistematis. Oleh karena, pentauhidan sebenarnya adalah rahasia dan ruh dari makrifat, maka dalam setiap tingkatan yang diuraikan menjadi Tauhid Af’al, Asma', Sifat dan Dzat, sang salik diharapkan dapat merasakan dan menyaksikan tauhid yang lebih formal maupun khusus, yang diperoleh dari melayari keempat Samudera Tauhid tersebut. Hasil akhirnya, kalau tidak ada penyimpangan yang sangat
mendasar, sebenarnya serupa dengan pengalaman makrifat para sufi lainnya yakni pengertian bahwa ujung dari makrifat semata-mata adalah mentauhidkan Allah sebagai Yang Maha Esa dengan penyaksian dan keimanan yang lebih mantap sebagai hamba Allah.

Kamis, 18 Juli 2013

Hikmah Allah

Di Antara Hikmah Allah, Segala Sesuatu Saling melengkapi

Kemudian perhatikanlah tanaman obat yang dikeluarkan Allah Ta’ala dari dalam tanah. Renungkanlah manfaat masing-masing yang khas! Ada yang menembus ke dalam persendian untuk mengeluarkan cairan-cairan sisa yang berat dan mematikan seandainya tak dibuang. Ada yang mengeluarkan empedu hitam, ada yang mengeluarkan empedu kuning. Ada yang mengempiskan bengkak-bengkak, ada yang menenangkan debar jantung dan depresi, ada yang menidurkan, ada yang merampingkan badan yang kegemukan, ada yang menggembirakan hati apabila dirundung berbagai pikiran, ada yang membersihkan dahak, ada yang menajamkan mata, ada yang mengharumkan bau mulut, ada yang berfungsi menurunkan tekanan syahwat, ada yang sebaliknya membangkitkannya, ada yang menurunkan panas, ada yang sebaliknya mengusir dingin dan membangkitkan hawa panas, ada yang bersifat menangkal efek negatif obat dan makanan lain.
Ada yang berfungsi sebagai penyeimbang obat lain, sehingga dengan menelan keduanya suhu badan menjadi normal. Ada yang menghilangkan dahaga, ada yang mengusir masuk angin, ada yang memberi warna yang cemerlang, ada yang menambah gemuk badan, ada yang menguranginya, ada yang mencuci lambung, dan masih banyak manfaat lain yang tidak terhitung oleh manusia.
Tanyalah orang yang ingkar, siapa yang meletakkan manfaat-manfaat dan kekuatan-kekuatan ini di dalam rerumputan, tanaman, biji-bijian, dan akar-akaran itu? Siapa yang memberi keistimewaan masing-masing? Siapa pula yang membimbing manusia, dan bahkan hewan, untuk mengkonsumsi obat yang bermanfaat dan menghindari yang berbahaya? Siapa yang memberitahukannya kepada manusia dan hewan melata itu? Mungkinkah dengan akal dan pengalaman semata, tanpa petunjuk dari Tuhan yang telah mencipta segala sesuatu lalu memberinya hidayah, dia bisa mengetahui fungsinya seperti sangkaan orang yang tidak mendapat taufik-Nya?
Anggaplah manusia mengetahui hal-hal tersebut dengan akal, pikiran, dan pengalamannya. Tapi, siapa yang memberitahukannya kepada hewan-hewan? Banyak di antara yang diketahui hewan belum diketahui oleh manusia sendiri. Salah satu binatang buas mengobati lukanya dengan salah satu tanaman sehingga sembuh. Siapa yang membimbingnya mengambil khusus tanaman itu, bukan tanaman yang lain? Sementara itu, sebagian burung terlihat meminum air laut ketika sembelit sehingga buang airnya lancar. Burung yang lain, apabila sakit, memakan suatu jenis tanaman sehingga kesehatannya pulih. Dalam dasar-dasar ilmu kedokteran, para tabib menyebutkan banyak sekali keajaiban dalam hal ini.
Maka, tanyailah orang yang ingkar, siapa yang mengilhamkan hal itu kepadanya, siapa yang membimbingnya ke sana? Mungkinkah semua ini terjadi tanpa takdir dari Tuhan Yang Maha Perkasa dan Bijaksana, Maha Pengasih dan Maha Tahu? Tuhan yang hikmah-Nya menakjubkan akal, dan yang fitrah manusia mengakui bahwa Dia adalah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, Dialah Tuhan Pencipta yang tiada yang patut disembah selain Dia. Kalau ada Tuhan selain Dia di langit atau bumi, tentu langit dan bumi akan rusak, sistem alam akan hancur. Maha Suci Allah dari sifat yang dilekatkan orang-orang yang zalim dan ingkar kepada-Nya.
Mungkin Anda bertanya: apa hikmah tanaman yang banyak tumbuh di padang pasir, tanah kosong, dan pegunungan tak berpenghuni? Mungkin Anda menyangka itu sekedar aksesoris alam, tidak dibutuhkan, tidak ada gunanya diciptakan. Pertanyaan ini menunjukkan kadar akal dan pengetahuanmu yang dangkal. Betapa banyak hikmah Tuhan menciptanya; sebagai makanan hewan liar, burung, dan hewan melata yang tempat tinggalnya tidak terlihat oleh Anda, di bawah tanah atau di atasnya. Tetumbuhan itu seperti meja hidangan yang disediakan Allah SWT untuk burung dan hewan-hewan tersebut. Mereka mengkonsumsinya secukup kebutuhan mereka, lalu sisanya tetap banyak, persis seperti hidangan yang melimpah yang tersisa dari tamu karena tuan rumah amat kaya.
Miftah Ad Dar Sa’adah – Ibnul Qoyyim Al Jauziyah

Selasa, 16 Juli 2013

Bahaya aqidah kaum khawarij

Awas Bahaya Aqidah Khawarij (Menjawab ucapan Din Syamsuddin, bahwa Kemenag Korupsi Jadi Bukan Ulil Amri)

Suatu yang patut disyukuri, Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Agama diberi taufiq setiap tahunnya untuk menerapkan rukyatul hilal di sekian pos observasi hilal yang tersebar di berbagai penjuru di nusantara, guna menetapkan awal dan akhir Ramadhan.

Untuk tahun ini, Kementerian Agama menetapkan 1 Ramadhan 1434 Hijriah jatuh pada Rabu, 10 Juli 2013. “Keputusan ini dibuat berdasarkan pengamatan hilal dan rukyat di seluruh Indonesia,” kata Menteri Agama, dalam sidang itsbat penetapan 1 Ramadan 1434 Hijriah di kantor Kementerian Agama, Senin, 8 Juli 2013

Keputusan tersebut, selaras dengan keputusan mayoritas negeri-negeri lainnya. Antara lain,

Qatar, Arab Saudi, dan Mesir
Umat Islam Afrika Utara dan Afrika Barat
Kuwait, Irak dan Yaman
Tunisia dan Libya
Singapura, Malaysia, Brunei Darus Salam dan Australia
Negeri-negeri tersebut memutuskan hari Rabu sebagai awal Ramadhan 1434 H. Keputusan itu diambil setelah hilal awal Ramadhan 1434 H tidak terlihat di masing-masing negara tersebut.

Namun sayang, salah satu Ormas Islam di negeri ini, menentang keputusan tersebut. Bahkan lebih dari itu, berani lancang menyatakan keluar dari ketaatan kepada ulil amri. Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Din Syamsudin menyatakan Kementerian Agama tak pantas dianggap sebagai ulil amri lantaran melakukan korupsi.

“Kalau kementerian agama dianggap sebagai ulil amri dan harus ditaati, mohon maaf sajalah, masa kita harus taat pada kementerian yang korup, Al-Qur’an pun mau dikorupsi. Itu tidak memenuhi syarat sebagai ulil amri. Bahkan ada hadits; janganlah mentaati manusia yang melakukan maksiat kepada Allah,” tegasnya. Senin, 08 Jul 2013.

Sungguh sangat kita sayangkan ucapan yang muncul dari Ketua Umum salah satu ormas Islam terbesar di negeri ini tersebut. Ucapan yang mengarah kepada aqidah dan cara-cara Khawarij, yaitu menyatakan keluar dari ketaatan kepada pemerintah yang dinilai telah banyak melakukan kezhaliman, kemaksiatan, dan berbagai kemungkaran lainnya. Jelas ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah!

Memang kita tidak menutup mata adanya kezhaliman, kemungkaran, dan korup pada pemerintah kita. Namun dalam prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah hal tersebut tidak berarti kemudian merekomendasi untuk keluar dari ketaatan kepada ulil amri (pemerintah). Tentu kita semua mengharapkan pemerintah yang adil. Kita senantiasa mendoakan pemerintah Indonesia agar berjalan di atas bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah, menghilangkan berbagai korupsi, kezhaliman, dan kemungkaran yang terjadi. Termasuk dalam hal ini kementrian agama. Ketaatan kita kepada pemerintah yang zhalim dan korup tidak berarti kita ridho terhadap kezhaliman dan kekorupannya. Namun pengingkaran kita terhadap berbagai kemungkaran pada pemerintah tersebut tidak berarti kita keluar dari ketaatan kepadanya.

PRINSIP AHLUS SUNNAH TERKAIT DENGAN KETAATAN KEPADA ULIL AMRI (Pemerintah Islam)

1. Ahlus Sunnah berkeyakinan wajibnya mentaati ulil amri. Berdasarkan :

- Firman Allah Ta’ala :

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُم} [النساء: 59]

“Wahai orang-orang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kalian.” (An-Nisa’ : 59)

- Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

«اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ»

“Dengar dan taatilah (ulil amri), meskipun yang diangkat adalah seorang budak habasyi seakan-akan kepalanya adalah biji anggur.” (HR. Al-Bukhari 693)

«أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا»

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, dan mendengar dan taat (kepada ulil amri), meskipun (yang menjadi ulil amri) adalah seorang budak habasyi.” (HR. Abu Dawud 4607, At-Tirmidzi 2676)

2. Ketaatan Kepada ulil amri tersebut wajib, baik dalam perkara yang kita sukai ataupun dalam perkara yang kita benci, selama ulil amri tersebut masih muslim

«أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةً عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلَّا أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ»

“Kami berbaiat (kepada Rasulullah) untuk mendengar dan mentaati (ulil amri), baik dalam kondisi kami senang atau benci, baik dalam kondisi lapang maupun sulit, dan walaupun mereka menghalangi hak-hak kami. Dan kami berbaiat untuk tidak mencabut kepemimpinan tersebut dari orang yang memegangnya, kecuali jika kalian melihat (mendapati) kekufuran yang nyata (pada ulil amri tersebut) yang kalian memiliki bukti dari Allah tentang kekufurannya.” (Al-Bukhari 7056, Muslim 1079)

3. Ketaatan kepada ulil amri tersebut wajib, baik ulil amri itu adil maupun zhalim/banyak melakukan kemungkaran.

«إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِي أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا» قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ، وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ»

“Sesungguhnya kalian akan melihat sepeninggalku atsarah (yakni korup) dan berbagai perkara yang kalian mengingkarinya.” Wahai Rasulullah kalau begitu apa yang engkau perintahkan kepada kami? Rasulullah menjawab, “Tunaikanlah kepada mereka (ulil amri) hak mereka (yakni taatilah mereka), dan mintalah kepada Allah hak kalian.” (Al-Bukhari 7052, Muslim 1843).

Menjelaskan hadits di atas, an-Nawawi rahimahullah mengatakan,

“berita ini merupakan salah satu mukjizat kenabian. Berita ini telah terjadi berulang-ulang, dan peristiwa tersebut didapati berkali-kali. Pada hadits tersebut terdapat dorongan untuk tetap mendengar dan mentaati (ulil amri) meskipun ulil amri-nya adalah seorang yang zhalim dan sangat lalim. Maka ulil amri tersebut tetap wajib ditunaikan haknya, yaitu ketaatan kepadanya, tidak memberontak terhadapnya dan tidak melepaskan (ketaatan) kepadanya. Namun (yang semestinya dilakukan adalah) memohon kepada Allah dalam menghilangkan gangguannya (kezhalimannya), mencegah kejelekannya, dan memperbaikinya.” (lihat Syarh Muslim no. 1843)

Lebih tegas lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menggambarkan kezhaliman ulil amri, namun demikian tetap wajib mentaatinya, yaitu dalam hadits berikut,

«يَكُونُ بَعْدِي أَئِمَّةٌ لَا يَهْتَدُونَ بِهُدَايَ، وَلَا يَسْتَنُّونَ بِسُنَّتِي، وَسَيَقُومُ فِيهِمْ رِجَالٌ قُلُوبُهُمْ قُلُوبُ الشَّيَاطِينِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ» ، قَالَ: قُلْتُ: كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُولَ اللهِ، إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: «تَسْمَعُ وَتُطِيعُ لِلْأَمِيرِ، وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ، وَأُخِذَ مَالُكَ، فَاسْمَعْ وَأَطِعْ»

“Akan ada sepeninggalku para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku dan tidak mengambil sunnahku. Dan akan muncul di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya adalah hati syaithan dalam wujud manusia.” Aku bertanya, “Apa yang harus aku perbuat apabila aku mendapati itu?” Rasulullah menjawab, “Tetaplah engkau mendengar dan mentaati pimpinan meskipun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar dan taat!!” (Muslim 1847)

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Pada hadits ini terdapat dalil untuk senantiasa konsisten bersama pemerintah muslimin dan pimpinannya, serta kewajiban mentaati mereka meskipun mereka berbuat fasik dan melakukan kemaksiatan berupa merampas harta dan yang lainnya. Maka wajib mentaati mereka dalam perkara selain maksiat.”

4. Tidak Boleh Taat kepada ulil amri ketika diperintah kepada Kemaksiatan

«السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ»

“Wajib untuk mendengar dan mentaati (ulil amri) atas seorang muslim, baik dalam perkara yang ia sukai atau ia benci, selama ia tidak diperintah dengan kemaksiatan. Apabila diperintah untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar dan taat.” (Al-Bukhari 7144).

Yakni tidak mentaati perintah berbuat maksiat tersebut. Bukan berarti kemudian keluar dari ketaatan kepada ulil amri secara total, atau menentang dan memberontak kepadanya. Tidak demikian. Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berpesan,

«مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا فَكَرِهَهُ فَلْيَصْبِرْ، فَإِنَّهُ لَيْسَ أَحَدٌ يُفَارِقُ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَيَمُوتُ، إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»

“Barangsiapa mendapat pada pimpinannya sesuatu (kemungkaran/kemungkaran) sehingga diapun membencinya, maka hendaknya dia bersabar (yakni tidak keluar dari ketaatan). Karena tidaklah seorangpun berpisah dari jama’ah (kaum muslimin) walaupun sejengkal saja, kemudian dia mati, kecuali matinya adalah kematian jahiliyyah.” (al-Bukhari 7143)

5. Apabila terjadi kemungkaran pada ulil amri, maka rakyat menasehatinya secara rahasia. Bukan menentangnya, atau memprotesnya di atas mimbar, atau berdemo, atau bahkan memberontaknya.

Hal ini sebagaimana bimbingan baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“مَنْ أَرَاَد أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاَنِيَّةً، وَلَكِن يَأْخُذُ بِيَدِهِ، فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَلِكَ، وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِى عَلَيهِ”

“Barangsiapa yang hendak menasehati seorang yang memiliki kekuasaan, maka janganlah menyampaikannya secara terang-terangan. Namun hendaknya dia mengambil tangannya, dan menyendiri dengannya. Apabila ia (penguasa tersebut) mau menerima (nasehat) darinya maka itulah (yang diharapkan). Apabila tidak, maka dia telah melaksanakan kewajibannya (untuk menasehati penguasa).” (Ibnu Abi ‘Ashim hal. 508).

MENGKRITISI UCAPAN PAK DIN SYAMSUDDIN

Setelah kita membaca keterangan di atas, maka kita bandingkan dengan ucapan pimpinan ormas Islam di atas,

“Kalau Kementerian Agama dianggap sebagai ulil amri dan harus ditaati, mohon maaf sajalah, masa kita harus taat pada Kementerian yang korup. Al-Qur’an pun mau dikorupsi. Itu tidak memenuhi syarat sebagai ulil amri. Bahkan ada hadits: ‘Janganlah mentaati manusia yang melakukan maksiat kepada Allah,”

Perhatikan ucapan di atas. ["masa kita harus taat pada Kementerian yang korup"] memang kita tidak menutup mata adanya korup dan kemungkaran pada pemerintah Indonesia. Maka kita wajib mengingkari kemungkaran-kemungkaran tersebut. Namun bukan berarti kita menyatakan keluar dari ketaatan kepada ulil amri (pemerintah). Karena selama pemerintah masih muslim, maka ketaatan kepada mereka tetap wajib.
["Itu tidak memenuhi syarat sebagai ulil amri."] Tidak demikian wahai Pak Din Syamsuddin. Memang benar korup merupakan tindak kemaksiatan. Namun kemaksiatan tersebut tidak berarti membuat status sebagai ulil amri gugur. Tidak demikian. Perhatikan sekali lagi hadits-hadits di atas.
Bahkan lebih para lagi, Din Syamsuddin mengatakan, ["Kalau ulil amri itu menurut pemahaman kami, ulil amri itu bukan pemerintah tetapi yang mempunyai otoritas masing-masing,"] maka ini merupakan pemahaman yang menyimpang dari prinsip Ahlus Sunnah.
["Bahkan ada hadits: 'Janganlah mentaati manusia yang melakukan maksiat kepada Allah".] Memang kita tidak boleh mentaati pemerintah yang memerintahkan kita untuk bermaksiat, namun tidak berarti menyatakan keluar dari ketaatan kepadanya secara total. Sikap tidak taat kita kepada salah satu perintah yang bersifat maksiat itu bukan kemudian merekomendasi kita untuk keluar dari ketaatan dari ulil amri secara total atau membolehkan kita untu menentang ulil amri secara provokatif dan demonstratif, yang demikian justru akan memperkeruh suasana dan melemahkan stabiltas keamanan.
Kemudian kita bertanya kepada bapak Din Syamsudin, “Kemaksiatan apakah yang diperintahkan kepadamu oleh ulil amri?”

Konteks permasalahan sehingga menyebabkan munculnya pernyataan Din di atas adalah permasalah polemik rukyah – hisab.

“Sidang isbat itu artinya penetapan, tapi dengan pendekatan sepihak, yang namanya rukyat, sementara yang menggunakan perhitungan (hisab) tidak dianggap, jadi tidak ada gunanya,” kata Din Syamsudin.

Ketika ulil amri meminta anda (dan ormas yang anda pimpin) untuk menghadiri sidang itsbat penetapan awal Ramadhan berdasarkan rukyah, apakah anda diperintah oleh ulil amri untuk bermaksiat? Ataukah itu adalah perintah untuk ketaatan, yaitu melaksanakan rukyatul hilal yang itu selaras dengan bimbingan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Tentu saja jawabannya: perintah tersebut adalah perintah ketaatan.

Kemudian, bukankah cara hisab yang selama ini anda serukan dan pertahankan, itu merupakan kemungkaran dan bid’ah yang jelas-jelas bertentangan dengan perintah baginda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Permasalahan ini telah kami jelaskan dalam tulisan kami berjudul “Menentukan Awal dan Akhir Ramadhan dengan Ru’yatul Hilal atau Hisab Falaki?”)

Cara hisab yang anda serukan di samping merupakan kemungkaran dan bid’ah, juga merupakan sebab yang melanggengkan perpecahan umat, terkhusus dalam penentuan Ramadhan dan ‘Idul Fitri.

Maka sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Al-’Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, bahwa Umat Islam tidak akan bersatu dalam masalah Ramadhan dan Idul Fitri kecuali dengan dua hal,

Pertama, meninggalkan hisab falaki

Kedua, komitmen pada cara ru`yatul hilal dan istikmal.

Demikian tulisan singkat ini. Semoga bisa menjadi nasehat.

وفق الله الجميع لما يحبه ويرضاه. وصلى الله على محمد وعلى آله وصحبه وسلم.

Sumber : mahad-assalafy.com

Jumat, 12 Juli 2013

Hadits-Hadits Pilihan Shahih al-Bukhari Bab Puasa

Hadits-Hadits Pilihan Shahih al-Bukhari Bab Puasa

Mutiara Ramadhan

Mutiara Ramadhan
Amalan-amalan penghapus dosa di bulan Ramadhan
Muhib Al-Majdi - Jum'at, 4 Ramadhan 1434 H / 12 Juli 2013 06:16

Amalan-amalan penghapus dosa di bulan Ramadhan
(Arrahmah.com) – Di bulan suci Ramadhan yang penuh berkah ini, Allah Ta’ala melimpahkan ampunan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Ampunan tersebut tidak diberikan secara gratis. Ampunan tersebut bisa diraih hamba-hamba Allah selama mereka mau mengikuti petunjuk yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Petunjuk Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan bahwa ampunan Allah akan turun saat seorang hamba yang beriman melaksanakan amalana-amalan khusus, dengan penuh keikhlasan dan sesuai tuntunan syariat Islam. Di antara amalan-amalan khusus tersebut adalah:

1. Taubat nashuha, yaitu taubat yang sungguh-sungguh dan tulus.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ

Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat nashuha, niscaya Rabb kalian akan menghapuskan kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. (QS. At-Tahrim [66]: 8)

2. Berwudhu sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.

«مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»

Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini, lalu ia shalat dua raka’at (dengan khusyu’) tanpa berbicara dengan dirinya sendiri (memikirkan hal selain shalat, edt), niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. (HR. Bukhari no. 159 dan Muslim no. 226)

«مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ، حَتَّى تَخْرُجَ مِنْ تَحْتِ أَظْفَارِهِ»

Barangsiapa berwudhu dan memperbagus wudhunya, niscaya dosa-dosanya akan keluar dari tubuhnya, sampai keluar dari bawah kuku-kukunya. (HR. Muslim no. 245)

3. Memperbanyak langkah ke masjid untuk menunaikan shalat berjama’ah dan ibadah-ibadah lainnya.

4. Menunggu datangnya shalat berikutnya seusai melaksanakan shalat.

«أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟» قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ»

“Maukah aku tunjukkan kepada kalian hal-hal yang dengannya Allah menghapuskan dosa-dosa dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab: “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Menyempurnakan wudhu atas hal-hal yang tidak disukai (cuaca dingin, kondisi sakit, edt), banyak melangkahkan kaki ke masjid dan menunggu shalat usai shalat. Itulah yang disebut ribath. (HR. Muslim no. 251)

5. Membaca doa setelah adzan

«مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، رَضِيتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ»

Barangsiapa membaca doa berikut ini seusai mendengarkan adzan:

أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، رَضِيتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا

“Aku bersaksi bahwa tiada Ilah Yang berhak diibadahi selain Allah, Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Aku telah ridha Allah sebagai Rabbku, Muhammad sebagai rasulku dan Islam sebagai dienku“

niscaya dosa-dosanya diampuni.  (HR. Muslim no. 386)

6. Melaksanakan shalat wajib lima waktu

” أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا، مَا تَقُولُ: ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ ” قَالُوا: لاَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا، قَالَ: «فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الخَمْسِ، يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الخَطَايَا»

“Bagaimana pendapat kalian apabila ada sebuah sungai di depan pintu rumah salah seorang di antara kalian, sehingga ia mandi di sunagi tersebut lima kali setiap harinya. Apakah hal itu masih menyisakan daki pada dirinya?” Para sahabat menjawab: “Tidak akan meninggalkan sedikit pun daki pada dirinya.” Beliau bersabda: Demikian itulah perumpamaan shalat wajib lima waktu, dengannya Allah menghapuskan dosa-dosa. (HR. Bukhari no. 528 dan Muslim no. 667)

7. Shalat berjama’ah di masjid

«مَنْ تَوَضَّأَ لِلصَّلَاةِ فَأَسْبَغَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ مَشَى إِلَى الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ، فَصَلَّاهَا مَعَ النَّاسِ أَوْ مَعَ الْجَمَاعَةِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ غَفَرَ اللهُ لَهُ ذُنُوبَهُ»

Barangsiapa berwudhu dengan sempurna untuk melaksanakan shalat, kemudian ia berjalan kaki menuju shalat wajib, sehingga ia melaksanakan shalat wajib tersebut bersama masyarakat, ata berjama’ah, atau di masjid, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosanya. (HR. Muslim no. 232)

8. Melaksanakan shalat Jum’at

«الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ»

Shalat wajib lima waktu, shalat Jum’at ke shalat Jum’at berikutnya, dan puasa Ramadhan ke puasa Ramadhan berikutnya akan menghapuskan dosa-dosa di antara kedua waktu tersebut, selama ia menjauhi dosa-dosa besar. (HR. Muslim no. 233)

9. Melaksanakan shaum (puasa) Ramadhan

«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»

Barangsiapa melakukan puasa Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala di sisi Allah, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760)

10. Melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih dan witir)

«مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»

Barangsiapa melakukan shalat malam Ramadhan (tarawih dan witir) karena keimanan dan mengharapkan pahala di sisi Allah, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759)

11. Melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih dan witir) pada malam lailatul qadar

«مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»

Barangsiapa melakukan shalat malam (tarawih dan witir) pada malam lailatul qadar karena keimanan dan mengharapkan pahala di sisi Allah, niscaya dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. (HR. Bukhari no. 2014 dan Muslim no. 760)

Inilah sebagian kecil amal shalih yang bisa menghapuskan dosa-dosa kita di bulan Ramadhan. Wallahu a’lam bish-shawab.

(muhibalmajdi/arrahmah.com)

Merenungi jagat raya

Merenungi Jagat raya, bahwa sesungguhnya sang pencipta segala sesuatu mempunyai rencana yang tidak bisa kita pikirkan dengan logika sekalipun.
Bahwa hanya dua khalik yang dikatakan untuk taat kepadanya yaitu Jin dan Manusia, mari kita simak tayangan berikut:

Rabu, 10 Juli 2013

Padilah Bulan Ramadlan

Fadilah Bulan Ramadlan

Bulan ramadlan adalah bulan awal turunnya Al-Quran, beberapa petunjuk untuk manusia dan penjelasan tentang petunjuk itu dan menjadi penegak kebenaran, membedakan antara hak dan bathil .....(Al-Baqoroh 285)

Nabi SAW Bersabda
1. "Sispa lega hati, menyambut kehadiran bulan ramadlan, pasti Allah mengharamkan tubuhnya atas neraka apa saja.

2. Pada malam pertama bulan ramadlan, Allah berfirman": siapa mencintaiKu, pasti akupun pencintainya, siapa mencari rahmatKu, pasti rahmatKu pun mencarinya, dan siapa beristigfar kepadaKu pasti aku mengampuninya. Berkat hormat Ramadlan, lalu Allah menyuruh malaikat mulia pencatat amal, khusus dalam bulan ramdlan supaya menulis amal kebaikan semata, ridak mencatat laku kejahatan mereka, umat muhamad, dan Allah menghapus dosa dosa terdahulu bagi mereka.

3. Dari ibnu abas ra. katanya aku mendengar Rasul SAW bersabda;
Andaikata umatku tahu pasti tentang sesuatu yang tersembunyi dalam bulan Ramadlan, pasti mereka mengharap seluruh bulan dalam setahun menjadi bulan ramadlan"; sebab ia menghimpun segala kebaikan dan taat yang dinkabulkan, doa doa dipenuhi(mustajab) egala laku dosa dimampuni, dan sorga merindukan mereka. (Zubdatul wa'idhin)

4. Sorga sangat rindu terhadap 4 macam manusia, yaitu : Pembaca Al-Quran, pemelihara lisan dari ucapan yang keji dan munkar, dan pemberi makan orang yang lapar,mserta mereka yangbakhli puasa di bulan Ramadlan( Raunaqul majalis)

Selasa, 09 Juli 2013

Awal Ramadhan Tanggal 10 Juli 2013= 1 Ramadhan 1434 H

Senin, 08 Juli 2013 22:10 WIB

Pemerintah Tetapkan Awal Ramadan Rabu 10 Juli

JAKARTA (GM) - Pemerintah resmi menetapkan satu Ramadan 1434 jatuh pada tanggal Rabu 10 Juli. Hasil sidang isbat, hilal yang menandakan bulan baru sudah cukup terlihat.

"Dengan mengucapkan Bismillah, kami memutuskan dan menetapkan bahwa 1 Ramadan 1434 jatuh pada Rabu 10 Juli 2013," ujar Menteri Agama Suryadharma Ali saat sidang Isbat di Gedung Kemenag, Jl MH Thamrin, Jakarta, Senin (8/7/2013).

Penentuan satu Ramadan pada hari Rabu 10 Juli tersebut juga disepakati oleh ormas Islam. Dalam sidang isbat, Mahkamah Agung dan kepolisian juga hadir.

PBNU yang hadir dalam rapat tersebut juga menyampaikan laporan dan pendapatnya. Menurut PBNU, walaupun rukyat dijadikan dasar sebagai penentuan awal Ramadan, namun hisab tak boleh ditinggalkan.

"PBNU menganggap hisab tak boleh ditinggalkan, hisab memandu rukyat agar tak ngawur adanya. Karena hilal belum nampak, maka puasa hari Rabu," kata Khatib Am PBNU Malik Madani.

Setelah mendengarkan laporan dan pendapat dari ormas-ormas Islam, Menteri Agama Suryadharma memutuskan puasa jatuh pada hari Rabu tanggal 10 Juli 2013.

"Izinkan saya menyimpulkan, berdasarkan laporan-laporan bahwa posisi hilal adalah minus 0 derajat 56 menit, dari 36 orang yang berada di berbagai tempat untuk melakukan rukyat," kata Suryadharma.

"Dengan demikian, bismillahirrahmanirrahim tanggal 1 Ramadan bertepatan hari Rabu tanggal 10 Juli 2013," tandasnya.
mdk

Senin, 01 Juli 2013

Orang Yang Mencintai Allah

Orang yang benar-benar mencintai Allah

Orang yang benar-benar mencintai Allah selamanya tidak pernah khawatir akan berpisah dariNya. Sama sekali tidak ada perasaan rendah diri dalam hati seorang pencinta Illahi seperi terasing dan tertekan. Sebab, dia merasa bahwa yang dicintainya lebih dekat kepadanya dari urat nadi lehernya, lebih dekat kepadanya dari dirinya, dan dia melihat lahiriahNya pada segala sesuatu. Dia ada pada kornea matanya, pada senyuman orang tuanya dan pada tarian burung burung di udara, pada desah angin pagi dan pada gemercik air hujan. Ia selalu merindukan, kerinduan yang selaras dengan bertambahnya penyaksian dan keaneka ragaman keindahan Y ang maha mencintai, karena itu cintanya selalu baru dan terbebas dari kebosanan, keluhan. Cintanya selalu motifasi untuk mendekati, mengenalNy, menuntut keridloanNya, ingin selalu bertemu dengan yang Dicintai, dan selalu gelisah apabila sekejap saja melupakanNya. Dia sudah tidak bisa membedakan antara kenikmatan, musibah, ujian dari kekasihnya. Semua dariNya adalah Rahmat Kekasih kepada yang dicintainya. Segalanya diterima dengan rasa syukur dan ridha. Ia banyak melupakan dirinya demi demi mengutamakan sang kekasih.
Bagi para pencinta Illahi akan bisa berdialog dengan dialog yang sesungguhnya sebaiamana dialog Yahya bin Mu'adz;
Illahi, sesungguhnya aku berdiam di halaman bumimu dan selalu memujiMi
Sejak kecil Engkau telah mengambilku, dan memakaikanku dengan Ma'rifatMu, Meneguhkan dengan kelembutanMu
Engkau yang memindahkan dalam berbagai hal membolakbalikan dalam berbagai amalan demi sitir, taubat, zuhud, rindu, ridha dan demi cinta padaMu
Engkau beri aku minum dari telagaMu dan memperkenankanku berjalan di tamanMu demi memenuhi perintahMu menyukai perkataanMu
Ketika mulai tumbuh kumisku, dan telah jelas keadaanku, maka bagai mana mungkin aku akan meninggalkanMu pada masa tuaku, sedang aku telah terbiasa dekat denganMu sejak aku masih kecil. Maka tiada lain bagiku kecuali selalu menyebut-nyebutMu dengan kerendahan diri.
Karena sesungguhnya aku seorang pencinta. Dan setiap pencinta akan menyukai(sepenuh hati)kekasihnya, dan menjauhi selain kekasihny (***ap***)