Kamis, 01 Agustus 2013

PERBUATAN DURHAKA KEPADA SUAMI ADALAH PERBUATAN KUFUR

DURHAKA KEPADA SUAMI ADALAH PERBUATAN KUFUR
Dalam masalah ini terdapat riwayat Abu Sa'id Al Khudri dari Nabi SAW 9, Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda,  "Diperlihatkan kepadaku neraka. Ketika itu aku melihat di antara penghuninya adalah wanita pendurhaka. " Kemudian seseorang bertanya kepada Rasulullah "Apakah mereka durhaka kepada Allah?" Rasulullah  menjawab, "Mereka kafir (durhaka) kepada suami dan tidak mau berterima kasih atas kebaikan yang diterimanya. Walaupun sepanjang masa engkau telah berbuat baik kepada salah seorang dari mereka dan kemudian ia melihat sedikit  kesalahan darimu, maka ia akan berkata, "Aku tidak pernah melihat kebaikan dari dirimu. " Qadhi Abu Bakar bin Al Arabi dalam syarah-nya. berkata, "Maksud Imam Bukhari dalam bab ini adalah untuk menerangkan, bahwa maksiat dapat dikatakan sebagai kekufuran sebagaimana taat dapat disebut iman. Akan tetapi, maksud kufur di sini adalah bukan kufur yang menyebabkan seseorang keluar dari agama." Kemudian dia berkata, "Durhaka kepada suami termasuk perbuatan dosa sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, 'Jika aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, maka aku akan menyuruh seorang istri untuk bersujud  kepada suaminya." Dalam hadits ini, Rasulullah mensejajarkan hak suami dengan hak Allah, maka jika seorang istri durhaka kepada suaminya -padahal sang suami telah melakukan kewajibannya- maka perbuatan tersebut merupakan bukti penghinaan terhadap hak Allah. Untuk itu perbuatan tersebut dapat dikatagorikan sebagai kekufuran, hanya saja kekufuran tersebut tidak sampai mengeluarkannya dari agama. Kita dapat melihat dua hal penting dalam hadits ini, Pertama bahwa Imam Bukhari membolehkan memotong hadits jika tidak akan merusak maknanya, baik dengan kalimat sebelumnya maupun sesudahnya. Hal semacam ini dapat menimbulkan kesan bagi orang yang tidak hafal hadits tersebut, bahwa pemotongan hadits semacam ini tidak sempurna, terutama jika pemotongannya berada di tengah-tengah hadits seperti dalam sabda Nabi, Sedangkan permulaannya yang lengkap seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas adalah, "Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah..,.(di  sini disebutkan pula kisah tentang shalat khusuf (gerhana matahari) dan khutbah Rasulullah termasuk dalam bagian ini). Oleh karena itu, tidak sedikit orang yang mengira bahwa kedua hadits itu tidak sama karena memiliki permulaan yang berbeda. Sehingga diantara mereka ada yang mengatakan bahwa jumlah hadits dalam kitab shahih Bukhari adalah empat ribu hadits tanpa pengulangan, seperti Ibnu Shalah, Syaikh Muhyiddin dan lain sebagainya. Pendapat ini tidak benar, karena setelah diteliti jumlahnya adalah 1513 hadits, seperti yang telah saya jelaskan dalam pembukaan kitab ini. Kedua,  bahwa Imam Bukhari tidak mengulang sebuah hadits kecuali jika ada manfaatnya baik dalam matan atau sanad. Jika terdapat dalam matan, maka beliau tidak mengulangnya dalam bentuk yang sama, akan tetapi beliau akan membedakannya. Jika jalur sanad-nya banyak, maka beliau akan menyebutkan satu jalur sanad dalam setiap bab. Sedangkan jika jalur sanad-nya sedikit, maka beliau akan meringkas sanad atau matan hadits tersebut. Hal semacam ini dapat kita lihat dalam hadits ini, dimana beliau meriwayatkannya dari Abdullah bin Maslamah (maksudnya Al Qa'nabi) secara ringkas dan terbatas pada judul bab saja, sebagaimana telah dijelaskan bahwa maksiat dapat dikatakan sebagai kekufuran. Kemudian matan ini juga disebutkan oleh beliau dalam bab , dengan sanad tersebut. Tetapi karena tidak merubah sanad-nya, maka beliau meringkas matan-nya. sesuai dengan judul bab. Beliau juga memaparkannya kembali secara lengkap dalam bab "Shalat Khusuf" dengan sanad yang sama, dan dalam bab "Penciptaan Makhluk" ketika menjelaskan tentang matahari dan bulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar