Jumat, 08 Mei 2020

Hadits tentang Riya dan Kemunafikan




Riya’ Seorang Muslim dan Munafik

Kita tahu bahwa riya’ adalah salah satu perusak amal dan tergolong dalam kesyirikan. Karena memamerkan ibadah atau melakukan riya’s, amalan seseorang jadi sia-sia. Namun ternyata ada bedanya antara riya’ seorang muslim dan orang munafik.

Berikut keterangan dari Syaikh Sholeh Alu Syaikh mengenai tingkatan riya’.

Pertama, riya’ orang munafik, yaitu menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Ia menampakkan keislaman, Islamnya hanya kepura-puraan di hadapan manusia. Ini adalah bentuk munafik dalam tauhid dan menghilangkan iman secara total. Perbuatan ini termasuk dalam kufur akbar (kafir besar). Allah menyifati orang munafik seperti ini,

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisa’: 142). Yang dimaksud riya’ di sini adalah riya’ akbar (riya’ besar), yaitu menampakkan keislaman, menyembunyikan kekafiran dalam batin.

Kedua, riya’ yang dilakukan oleh seorang muslim. Riya’ di sini dilakukan dengan maksud menampakkan amalan di hadapan orang lain. Ini termasuk syirik khofi, yaitu syirik yang tersembunyi (tidak nampak). Syirik ini meniadakan kesempurnaan tauhid. Allah Ta’ala mengatakan mengenai syirik,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang di bawah syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. ” (QS. An Nisa’: 48). Ayat “sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik“, termasuk juga di dalamnya syirik khofi (syirik yang tersembunyi), begitu pula syirik ashgor. Artinya, jika tidak bertaubat dari riya’ hingga mati, syirik tersebut akan masuk dalam timbangan kejelekan.

Penjelasan di atas menunjukkan akan bahayanya mencari pujian dalam beramal. Namun demikianlah tidak sedikit yang senang akan pujian saat beribadah. Padahal riya’ yang samar dapat membahayakan ibadah seorang muslim. Dan perlu para pembaca ketahui bahwa riya’ ternyata lebih berbahaya dari musibah Dajjal yang akan muncul di akhir zaman. Karena Dajjal bisa dilihat dan nyata. Namun amalan yang riya’, tak ada satu pun yang tahu pelakunya itu riya’ karena riya’ adalah di hati dan tersembunyi. Abu Sa’id Al Khudri pernah berkata,

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَقَالَ « أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِى مِنَ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ». قَالَ قُلْنَا بَلَى. فَقَالَ « الشِّرْكُ الْخَفِىُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّى فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ »

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami dan kami sedang mengingatkan akan (bahaya) Al Masih Ad Dajjal. Lantas beliau bersabda, “Maukah kukabarkan pada kalian apa yang lebih samar bagi kalian menurutku dibanding dari fitnah Al Masih Ad Dajjal?” “Iya”, para sahabat berujar demikian kata Abu Sa’id Al Khudri. Beliau pun bersabda, “Syirik khofi (syirik yang samar) di mana seseorang shalat lalu ia perbagus shalatnya agar dilihat orang lain.” (HR. Ibnu Majah no. 4204, hasan).

Ya Allah, tunjukkilah kami untuk beramal dengan ikhlas. Jauhkanlah kami dari riya’ dan setiap syirik yang tersembunyi.

Hanya Allah yang memberi taufik.


Hadits tentang Riya' dan Kemunafikan

Hadits tentang Riya' dan NifakPengertian Riya' dan Nifak. Riya adalah pamer amal kebaikan. Pahala hilang. Nifak adalah sikap bermuka dua.

RASULULLAH SAW mengingatkan umat Islam agar menjauhi sikap riya dan nifak. Kedua sifat ini membinasakan.

Riya adalah pamer amal kebaikan agar mendapat pujian orang lain. Rasul menyebut riya sebagai syirik kecil. Pahala dan berkah amal kebaikan jadi hangus karena pamer.

Nifak adalah sikap bermuka dua, manis di depan pahit di belakang. Mengaku Muslim di depan umat Islam, padahal jelas kafir di belakang kaum Muslim.

Berikut ini sejumlah hadits tentang RIYA dan NIFAK

1. Riya menyia-nyiakan amal sebagaimana syirik menyia-nyiakannya. (HR. Ar-Rabii’)

2. Yang paling aku takuti atas kamu sesudah aku tiada ialah orang munafik yang pandai bersilat lidah. (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)

3. Tidak akan tiba hari kiamat sampai penguasa-penguasa tiap umat ialah orang-orang yang munafik. (HR. Ar-Rabii’)

4. Sesungguhnya riya adalah syirik yang kecil. (HR. Ahmad dan Al Hakim)

5. Seburuk-buruk manusia ialah orang yang mempunyai dua muka, mendatangi kelompok ini dengan wajah yang satu dan mendatangi kelompok lain dengan wajahnya yang lain. (Mutafaq’alaih)

6. Orang yang riya berciri tiga, yakni apabila di hadapan orang dia giat tapi bila sendirian dia malas, dan selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan. Sedangkan orang munafik ada tiga tanda yakni apabila berbicara bohong, bila berjanji tidak ditepati, dan bila diamanati dia berkhianat. (HR. Ibnu Babawih).

7. Paling banyak orang munafik dari umatku ialah yang pandai bacaannya. (HR. Bukhari)

8. Menyukai sanjungan dan pujian membuat orang buta dan tuli. (HR. Ad-Dailami).

9. Bila kamu melihat orang-orang yang sedang memuji-muji dan menyanjung-nyanjung maka taburkanlah pasir ke wajah-wajah mereka. (HR. Ahmad).

Semoga Allah SWT memberi kita kekuatan agar mampu menghindari RIYA dan NIFAK. Amin...!!!


Obat Penyakit Riya


Doa Terhindar Dari Riya Cara Agar Tidak Ria Cara Menghilangkan Sifat Ingin Dipuji Cara Menghilangkan Sifat Riya Doa Tidak Riya

OBAT PENYAKIT RIYA’ [1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

Bila diketahui bahwa riya’ itu dapat menggugurkan pahala amal sekaligus merusaknya dan mendatangkan kemurkaan Allah, maka harus ada usaha yang serius untuk mengenyahkannya. Mengobati penyakit riya’ terdiri dari ilmu dan amal. Rasanya memang pahit, tetapi hasilnya lebih manis daripada madu. Obat tersebut adalah :

a. Mengetahui Macam-Macam Tauhid Yang Mengandung Kebesaran Allah Ta’ala (Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah Dan Asma’ Wa Shifat).[2]

Mempelajari Tauhid Asma` wa Shifat akan membersihkan hati yang lemah. Apabila seorang hamba mengetahui bahwa Allah saja yang dapat memberikan manfaat dan mudharat, maka ia akan menghilangkan rasa takut kepada manusia. Setan memang selalu menghiasi ibadahnya di hadapan mereka dan menjadikannya takut dicela dan ingin disanjung. Demikian pula apabila ia mengetahui bahwa Allah as Sami’ (Maha Mendengar) dan al Bashir (Maha Melihat), Dia mengetahui mata yang khianat yang tersembunyi di dalam dada, maka ia akan mencampakkan semua pandangan manusia. Dia akan taat kepada Allah seolah-olah ia melihatNya, Allah pasti akan melihatnya. Dengan demikian riya’ ini akan lenyap dari dirinya.

b. Mengetahui Apa Yang Allah Sediakan Di Akhirat Berupa Kenikmatan Yang Abadi Dan Adzab Yang Pedih.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Katakanlah : “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Rabb kamu itu adalah Rabb Yang Maha Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia megerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seseorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya”. [al Kahfi : 110].

Apabila seorang hamba memahami apa yang Allah sediakan bagi orang yang bertakwa dari surga, maka dia akan meremehkan kelezatan dunia yang sementara ini. Termasuk di dalamnya pujian dan sanjungan manusia. Dan apabila seorang hamba mengetahui apa yang Allah sediakan bagi orang yang berlaku riya’ di neraka, maka ia akan berlindung kepada Allah dan tidak takut celaan manusia. Orang yang ia perlihatkan amalnya, tidak akan mampu menolong sesuatu yang datang dari Allah pada hari Kiamat.

c. Hendaklah Takut Terhadap Perbuatan Riya’
Bila seseorang merasa takut dengan perbuatan ini, ia akan selalu berhati-hati. Bila bergejolak penyakit ingin dipuji dan disanjung, ia akan mengingatkan dirinya tentang bahaya riya’ dan kemurkaan Allah yang akan ia peroleh. Hendaklah ia senantiasa mempelajari pintu masuk serta halusnya riya’ , sehingga ia benar-benar selamat darinya.

d. Menjauhkan Diri Dari Celaan Dan Murka Allah.
Di antara sebab-sebab riya’ adalah takut terhadap celaan manusia. Tetapi orang yang berakal akan mengetahui, bahwa takut terhadap celaan atau murka Allah adalah lebih utama. Hendaklah ia mengetahui, bahwa takut terhadap celaan Allah adalah dengan mendekatkan diri kepadaNya. Allah akan melindunginya dari manu¬sia yang tidak dapat memberikan manfaat kepadanya.

e. Memahami Kedudukan Sebagai Hamba Allah.
Hendaklah seseorang mengetahui secara yakin, bahwa dirinya seorang hamba yang tidak berhak menuntut upah dalam beribadah kepada Allah. Dia mentauhidkan Allah karena merupakan tuntutan ibadah, sehingga ia tidak berhak menuntut hak. Adapun pahala yang ia peroleh dari Allah adalah merupakan perbuatan ihsan (baik) kepadaNya. Maka, ia hanya berharap pahala dari Allah, bukan dari manusia. Yang berhak memberikan pahala hanya Allah. Karena itu, seorang hamba wajib beribadah semata-mata karena Allah.

f. Mengetahui Hal-Hal Yang Dapat Membuat Setan Lari.
Setan adalah musuh manusia. Dia merupakan sumber riya’, bibit dari setiap bencana. Setan selalu ada pada setiap waktu, dalam semua kehidupan manusia, dan senantiasa mengirimkan pasukannya untuk menghancurkan benteng pertahanan ma¬nusia. Dia menghasung pasukannya yang terdiri dari pasukan berkuda dan berjalan kaki. Dia selalu memberikan angan-angan, menjanjikan segala sesuatu. Namun sebenarnya apa yang dijanjikan setan, semuanya hanyalah tipuan belaka. Dia menghiasi perbuatan yang mungkar sehingga menjadi seolah-olah perbuatan baik. Hakikat ini harus diketahui oleh setiap muslim, agar ia selamat dari riya’. Dia juga harus menjaga beberapa hal yang dapat mengalahkan setan.

Ada beberapa amalan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang apabila diamalkan, maka setan akan lari. Di antaranya adalah dzikir kepada Allah dengan dzikir yang disyariatkan, membaca al Qur`an, membaca isti‘adzah (berlindung dari godaan setan yang terkutuk), membaca bismillah ketika masuk dan keluar rumah, membaca doa ketika masuk dan keluar WC, membaca doa ketika bersetubuh. Setan juga lari ketika mendengar seruan adzan, dibacakan surat al Baqarah, ayat Kursi, sujud tilawah, dibacakan surat al Falaq, an Naas dan lain-lain.

g. Menyembunyikan amal
Orang yang berbuat ikhlas akan senantiasa takut pada riya’. Oleh karena itu ia akan bersungguh-sungguh melawan tipu daya manusia dan memalingkan padangan mereka agar tidak memperhatikan amal-amal shalihnya. Dia akan berupaya keras meyembunyikan amalnya, dengan harapan, supaya ikhlas amalnya, dan agar Allah membalas pada hari Kiamat dengan keikhlasannya. Memang pada awalnya berat, tetapi jika sabar, Allah pasti akan menolongnya.
Rasulullah n bersabda :

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ الْغَنِيَّ الْخَفِيَّ

“Sesungguhnya Allah mencintai hambaNya yang takwa, yang selalu merasa cukup dan yang merahasiakan (ibadahnya)”. [HSR Muslim, no. 2965 dan al Baghawi, XV/21-22 no. 4228 dari Sa’ad bin Abi Waqash]

h. Tidak Peduli Dengan Celaan Dan Pujian Manusia.
Banyak orang binasa karena takut celaan manusia, senang dipuji, hingga tindak- tanduknya menuruti keridhaan manusia, mengharapkan pujian dan takut terhadap celaan mereka. Padahal yang seharusnya diperhatikan adalah, hendaknya kita bergembira dengan keutamaan dan rahmat dari Allah, bukan dengan pujian manusia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

“Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmatNya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. [Yunus : 58].

Demikian pula kita harus melihat orang yang mencela dan memfitnah kita. Apabila ia benar dan memang untuk menasihati kita, maka kita tidak perlu marah. Karena dia telah menunjuki aib kita dan mengingatkan kita dari kesalahan-kesalahan yang kita lakukan. Seandainya ia berbohong kepada kita dan mengada-ada terhadap kesalahan tersebut dan mencelanya, maka kita harus memikirkan tiga perkara:

1. Jika kita bersih dari kesalahan itu, maka kita tidak lepas dari aib atau kesalahan yang lain. Karena sesungguhnya manusia banyak berbuat salah dan banyak sekali aib kita yang Allah tutupi. Ingatlah nikmat Allah, karena si pencela tidak mengetahui aib yang lain dan tolaklah dengan cara yang baik.
2. Sesungguhnya membuat-buat berita untuk mencela kita dan memfitnah, semua ini adalah penghapus dosa kita, jika kita sabar dan mengharapkan pahala dari Allah.
3. Orang yang mencela dan memfit¬nah kita akan mendapat kemurkaan dari Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, Kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, Maka Sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata” [an Nisaa` : 112].

Kita harus berusaha untuk memaafkannya, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala cinta kepada orang-orang yang suka memaafkan. Seorang muslim harus ingat, bahwa tidak ada artinya pujian manusia, bila hal itu menimbulkan kemurkaan Allah. Pujian mereka tidak pula membuat kaya dan berumur panjang. Begitu pula celaan mereka ketika kita meninggalkan sesuatu. Celaan mereka tidak membuat kita berada dalam bahaya dan tidak pula memendekkan umur kita, serta tidak menangguhkan rezeki. Semua manusia adalah lemah, tidak berkuasa terhadap manfaat dan mudharat dirinya, tidak berkuasa terhadap hidup dan matinya serta tempat kembalinya. Jika ia menyadari hal itu, tentu dia akan melepaskan kesenangannya pada riya’. Lalu menghadap kepada Allah dengan hatinya. Sesungguhnya orang-orang yang berakal tidak menyukai apa-apa yang berbahaya bagi dirinya dan yang sedikit manfaatnya.

i. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Mengajarkan Kepada Kita Do’a Yang Dapat Menghilangkan Syirik Besar Dan Kecil (Riya’).
Dari Abu Ali, seorang yang berasal dari Bani Kahil, berkata: Abu Musa al Asy’ari berkhutbah di hadapan kami seraya berkata: “Wahai sekalian manusia. Takutlah kalian kepada syirik ini, karena ia lebih halus daripada rayapan semut”. Kemudian Abdullah bin Hazan dan Qais bin al Mudlarib mendatangi Abu Musa seraya berkata: “Demi Allah, engkau harus menguraikan apa yang engkau katakan atau kami akan mendatangi Umar, baik kami diizinkan atau tidak,” lalu Abu Musa berkata: “Kalau begitu, aku akan menguraikan apa yang aku katakan. Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah di hadapan kami seraya bersabda: ‘Wahai sekalian manusia, takutlah pada syirik ini, karena ia lebih halus daripada rayapan semut’. Kemudian orang yang dikehendaki Allah bertanya kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : ‘Bagaimana kami bisa menghindarinya, sedangkan ia lebih halus dari rayapan semut, ya Rasulullah?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,’Ucapkanlah

اَللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئاً نَعْلَمُهُ وَ نَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ نَعْلَمُهُ

“Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepadaMu dari mempersekutukanMu dengan sesuatu yang kami ketahui, dan kami memohon ampunan kepadaMu dari apa yang kami tidak ketahui”. [HSR Ahmad IV/403 dan ath Thabrani, isnad dan perawi-perawinya tsiqah (terpercaya) selain Abi Ali, karena sesungguhnya ia tidak dianggap tsiqah, kecuali oleh Ibnu Hibban. Hadits ini hasan, lihat Shahih Targhib wat Tarhib, no. 36]

j. Berteman Dengan Orang Ikhlas, Shalih Dan Bertakwa.
Di antara faktor yang dapat mendorong berbuat ikhlas ialah berteman dengan orang-orang yang ikhlas, agar kita dapat mengikuti jejak dan tingkah laku mereka yang baik. Dan kita harus waspada kepada orang-orang yang riya’, yang akan membawa kepada kebinasaan.

FAIDAH DAN PELAJARAN DARI HADITS INI
1. Sangat keras haramnya riya’.
2. Syirik dibagi dua, yakni syirik akbar dan syirik ashgar.
3. Riya’ termasuk syirik kecil.
4. Dosa syirik kecil lebih besar daripada dosa besar lainnya.
5. Riya’ lebih halus daripada rayapan semut.
6. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat khawatir bila umatnya melakukan riya’.
7. Rasulullah n sangat sayang kepada umatnya. (Lihat at Taubah : 128).
8. Beramal dengan riya’ adalah ciri-ciri orang munafiq (an Nisaa` : 142).
9. Allah sangat murka kepada orang-orang yang berbuat riya’.
10. Allah Maha Kaya dan tidak butuh kepada hambaNya
11. Allah tidak ridha jika dalam ibadah yang semestinya ditujukan hanya kepadaNya, lalu Dia dipersekutukan dengan makhlukNya.
12. Amal yang dilakukan dengan riya’ akan dibatalkan oleh Allah dan tidak diberi pahala.
13. Neraka dipanaskan pertama kali untuk orang-orang yang berbuat riya’.
14. Orang yang berbuat riya’ akan dihinakan dengan diseret wajahnya dan dilemparkan ke neraka.
15. Orang yang beramal dengan riya’ mengambil pahala di dunia dari manusia, yaitu berupa pujian dan sanjungan.
16. Orang yang berbuat riya’, pada hari Kiamat tidak mendapatkan pahala, melainkan siksa yang sesuai dengan amal mereka.
17. Riya’ ada bermacam-macam, ada yang jelas dan ada yang tersembunyi.
18. Wajib bagi setiap muslim berhati-hati dari riya’, sum’ah dan ‘ujub.
19. Manusia senantiasa digoda oleh setan hingga merusak keikhlasannya. Dan setan berjalan di dalam tubuh anak Adam seperti aliran darah.
20. Wajib ikhlas karena Allah dalam mengerjakan seluruh amal.
21. Seseorang tidak boleh meninggalkan amal yang wajib atau sunah yang rutin karena takut riya’.
22. Amal yang dilakukan dengan ikhlas, lalu mendapatkan pujian tidak termasuk riya’.
23. Penetapan bahwa Allah berkata atau bercakap-cakap menurut kehendakNya.
24. Selalu berdoa agar dijauhkan dari riya’.

Wallahu a’lam.

Maraji’:
1. Tafsir Ibnu Katsir, Cet. Maktabah Daarus Salaam, Th. 1413 H.
2. Tafsir Qurthubi, Cet. Daarul Kutub al Ilmiyyah, Th. 1420 H
3. Kutubus Sittah
4. Musnad Imam Ahmad
5. Sunan ad Darimi
6. Shahih Ibnu Khuzaimah
7. Mawariduz Zham’an
8. Mustadrak Hakim.
9. Syarah Muslim oleh Imam an Nawawi dan Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari oleh Ibnu Hajar al Asqalani.
10. Syarah Sunnah Imam al Baghawi
11. Riyadhush Shalihin, oleh Imam an Nawawi.
12. Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhush Shalihin, Juz III, oleh Salim bin Id al Hilali, Cet. I, Daar Ibnu Jauzy, Th. 1415 H.
13. Syarah Arbain oleh Imam an Nawawi.
14. Shahih at Targhib wat Tarhib, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
15. Shahih Jami’ush Shaghir, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
16. Shahih Sunan an Nasa-i, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
17. Mukhtashar Minhajil Qashidin, oleh Ibnu Qudamah al Maqdisi, tahqiq Syaikh Ali Hasan bin Ali bin Abdul Hamid, Cet II, Daar Ammar, Th. 1415H.
18. Majmu’ Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
19. Maqashidul Mukallafiin, 2 –al Ikhlas-, Dr. Umar Sulaiman al Asyqar, Cet. III, Daarun Nafais, Th. 1415 H.
20. Ar Riya’, Dzammuhu wa Atsaruhu as Sayi’ fil Ummah, Salim bin ‘Id al Hilali, Cet II, Dar Ibnu Jauzi, Th. 1413 H.
21. Al Ikhlas, Husain al ‘Awayisyah, Cet. VII, Maktabah al Islamiyah, Th. 1413 H.
22 .Al Ikhlas wa Syirkul Ashghar, Abdul Aziz Abdul Lathif, Cet. I, 1412 H.
23. Al Kaba-ir, Imam adz Dzahabi, hlm. 212, Tahqiq Abu Khalid al Husein bin Muhammad as Sa’idi, Cet. Darul Fikr.
24. Kitabut Tauhid, Muhammad bin Abdul Wahhab.
25. Al Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin, Darul Ashimah.
26. Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, oleh Penulis, hlm. 84-96, Cet II Pustaka at Takwa, April 2005.
27. Taujihat Nabawiyah ‘ala Thariq, Dr. Sayyid Muhammad Nuh, Cet. Darul Wafa’.
28. Mu’jamul Wasith
29. Dan lain-lainnya

Ditulis tanggal 4 Ramadhan 1426H / 8 Oktober 2005M

[1]. Diringkas dari ar Riya’, hlm. 61-72; al Ikhlas, hlm. 67-102 oleh Syaikh Husain al ‘Awayisyah; al Ikhlas wa Syirkul Ashghar, hlm. 13-17 oleh Syaikh Abdul Aziz Abdul Latif.
[2]. Tauhid Rububiyyah berarti mentauhidkan segala apa yang dikerjakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik mencipta, memberi rizki menghidupkan dan mematikan serta bahwasanya Dia adalah Raja, Penguasa dan Yang mengatur segala sesuatu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

إِنَّ رَبَّكُمُ اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلاَلَهُ الْخَلْقُ وَاْلأَمْرُ تَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam”. [al A’raaf : 54]

Tauhid Uluhiyah, artinya, mengesakan Allah l melalui segala pekerjaan hamba, yang dengan cara itu mereka bisa mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala apabila hal itu disyari’atkan olehNya, seperti berdoa, khauf (takut), raja’ (harap), mahabbah (cinta), dzabh (penyembelihan), bernadzar, isti’anah (minta pertolongan), isthighatsah (minta pertolongan di saat sulit), isti’adzah (meminta perlindungan) dan segala apa yang disyari’atkan dan diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun. Semua ibadah ini dan lainnya harus dilakukan hanya kepada Allah semata dan ikhlas karenaNya. Dan tidak boleh ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah. [al Jiin : 18].

Sungguh Allah tidak akan ridha bila dipersekutukan dengan sesuatu apapun. Bila ibadah tersebut dipalingkan kepada selain Allah, maka pelakunya jatuh kepada syirkun akbar (syirik yang besar) dan tidak diampuni dosanya. [Lihat an Nisaa` : 48, 116].

Tauhid Asma ‘ Wa Shifat, maksudnya adalah menetapkan apa-apa yang Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah tetapkan atas diriNya, baik itu dengan Nama-Nama maupun Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mensucikanNya dari segala aib dan kekurangan, sebagaimana hal tersebut telah disucikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita wajib menetapkan Sifat Allah sebagaimana yang terdapat di dalam al Qur`an dan as Sunnah dan tidak boleh dita’wil. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa denganNya. Dan Dia-lah Yang Maha mendengar lagi Maha melihat”. [asy Syuura’: 11].

Lihat keterangan selengkapnya di dalam kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh penulis, hlm. 84-96, Cet. II, Pustaka at Taqwa, April 2005.

[3]. Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadhush Shalihin, Iqadhul Himam min Jami’il ‘Ulum wal Hikam, al Kabair, Fiqhul Islam dan Taudhihul Ahkam Syarah Bulughul Maram, al Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid.
[4]. Perbedaan ‘syirik akbar dan syirik ashgar (kecil):
• Syirik akbar menghapuskan seluruh amal. Sedangkan syirik ashghar hanya menghapuskan amal yang disertai riya’
• Syirik akbar mengakibatkap pelakunya kekal di dalam neraka, sedangkan syirik ashghar tidak sampai demikian.
• Syirik akbar menjadikan pelakunya keluar dari Islam, sedangkan syirik ashghar tidak menyebabkan keluar dari Islam.
(Aqidatut Tauhid, oleh Dr. Shalih Fauzan, hlm. 80).

2
---------------------------

Jangan Sampai Ada Riya’ Dan Ujub Di Hatiku

Kemajuan teknologi serta perkembangan media sosial sudah menjadi hal yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan manusia, tak jarang setiap moment atau kesempatan diabadikan kemudian diunggah di sosial media. Tak hanya itu, terkadang ibadah yang sedang dilakukan pun tak luput menjadi bahan unggahan, meskipun kita tidak tahu apa motivasi di balik unggahan-unggahan tersebut. Sehingga privasi antar individu saat ini sudah semakin memudar karena setiap saat –ada masalah atau tidak- dapat diketahui banyak orang melalui unggahan-unggahan yang dilakukan.

Secara fitrah manusia, pastilah senang jika dirinya dipuji. Terlebih bagi seorang wanita, saat pujian datang -apalagi dari seseorang yang istimewa dalam pandangannya- tentulah hati akan bahagia jadinya. Berbunga-bunga, bangga, dan senang seakan-akan memenuhi relung hatinya. Itu manusiawi, namun jangan sampai riya’ menghiasi amal ibadah kita karena di setiap amal ibadah yang kita lakukan dituntut keikhlasan.

Niat yang ikhlas amatlah diperlukan dalam setiap amal ibadah karena ikhlas adalah salah satu syarat diterimanya suatu amal di sisi Allah. Sebuah niat dapat mengubah amalan kecil menjadi bernilai besar di sisi Allah dan sebaliknya, niat pun mampu mengubah amalan besar menjadi tidak bernilai sama sekali.

Di lain sisi terkadang tanpa sadar kita merasa telah banyak berbuat baik untuk Islam dan kaum muslimin, kita merasa telah melakukan sesuatu untuk membela Allah, Rasul-Nya dan Al Qur’an, lalu hati kita menganggap remeh orang yang tak seperti diri kita, bersikap ujub tanpa sadar bahwa kita bukan apa-apa dibandingkan dengan kuasa-Nya.

Sebelum membahas lebih lanjut, apa sih perbedaan antara riya’ dengan ujub?

Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan pelajaran berharga mengenai perbedaan antara riya’ dan ujub (takjub akan diri sendiri).

Beliau rahimahullah menjelaskan, bahwa betapa seringnya riya’ dan ujub saling bergandengan. Perlu diketahui bahwa riya’ berarti menyekutukan atau menyandingkan dengan makhluk. Sedangkan ujub berarti menyandingkan dengan jiwa yang lemah. Ujub ini adalah keadaan orang-orang yang sombong.

Orang yang berbuat riya’ tidak merealisasikan firman Allah Ta’ala,

إيَّاكَ نَعْبُدُ

“Hanya kepada-Mu lah kami menyembah.” (QS. Al Fatihah: 4)

Sedangkan orang yang merasa ujub pada diri sendiri tidak merealisasikan firman Allah Ta’ala,

وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan.” (QS. Al Fatihah: 4)

Barangsiapa yang merealisasikan firman Allah,

إيَّاكَ نَعْبُدُ

“Hanya kepada-Mu lah kami menyembah”, maka ia akan terlepas dari riya’ (karena ia akan beribadah pada Allah semata).

Barangsiapa yang merealisasikan firman Allah,

وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya kepada-Mu lah kami memohon pertolongan”, ia akan terlepas dari sifat ujub (takjub pada diri sendiri).

Dalam hadits yang ma’ruf disebutkan,

ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ : شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

“Tiga hal yang membawa pada jurang kebinasaan: (1) sifat pelit yang ditaati (2) hawa nafsu yang diikuti, kekaguman seseorang pada dirinya sendiri” (HR. Ath Thabrani dalam Al Ausath, 5/328. Dihasankan Al Albani dalam Shahiihul Jami’ no. 3045 ).

Pada asalnya, manusia memiliki kecenderungan ingin dipuji dan takut dicela. Hal ini menyebabkan riya’ menjadi sangat samar dan tersembunyi. Terkadang, seorang merasa telah beramal ikhlas karena Allah, namun ternyata secara tak sadar ia telah terjerumus kedalam penyakit riya’.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kamu kuberitahu tentang sesuatau yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada (fitnah) Al masih Ad Dajjal? Para sahabat berkata, “Tentu saja”. Beliau bersabda, “Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika sesorang berdiri mengerjakan shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya“ (H.R Ahmad dalam Musnad-nya. Dihasankan oleh Al Albani Shahiihul Jami’ no.2604)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa riya’ termasuk syirik khafi yang samar dan tersembunyi. Hal ini karena riya’ terkait dengan niat dan termasuk amalan hati, yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Tidak ada seseorang pun yang mengetahui niat dan maksud seseorang kecuali Allah semata. Hadist di atas menunjukkan tentang bahaya riya’, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir riya’ menimpa para sahabat yang merupakan umat terbaik, apalagi terhadap selain mereka. Kekhawatiran beliau lebih besar daripada kekhawatiran terhadap ancaman fitnah Dajjal karena hanya sedikit yang dapat selamat dari bahaya riya’ ini. Fitnah Dajjal yang begitu berbahaya, hanya menimpa pada orang yag hidup pada zaman tertentu, sedangkan bahaya riya’ menimpa seluruh manusia di setiap zaman dan setiap saat (I’aanatul Mustafiid, II/90).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لَوْ لَمْ تَكُوْنُوا تُذْنِبُوْنَ خَشِيْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ الْعُجْبَ الْعُجْبَ

“Jika kalian tidak berdosa maka aku takut kalian ditimpa dengan perkara yang lebih besar darinya (yaitu) ujub ! ujub !” (HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no 6868, hadits ini dinyatakan oleh Al-Munaawi bahwasanya isnadnya jayyid dalam At-taisiir, dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no 5303).

Bila kita merasa telah menjadi orang yang baik saja dianggap ujub, sebagaimana ditanyakan kepada Aisyah radliyallahu anha siapakah orang yang terkena ujub, beliau menjawab: “Bila ia memandang bahwa ia telah menjadi orang yang baik” (Syarah Jami As Shaghir). Bagaimana bila disertai dengan menganggap remeh orang lain? Inilah kesombongan.

Belajar dari Para Salaf

Duhai muslimah, berikut ini adalah kisah salaf yang menunjukkan betapa mereka menjaga diri dari riya’ dan sum’ah. Mereka tidak menginginkan ketenaran dan popularitas. Justru sebaliknya, mereka ingin agar tidak terkenal. Mereka memelihara keikhlasan, mereka takut jika hati mereka terkena ujub (bangga diri).

Dari Wahab bin Munabbih diriwayatkan bahwa ia berkata, “Camkan tiga hal yang kusampaikan: Waspadalah tehadap hawa nafsu yang dituhankan, teman yang jahad, dan ujub dengan diri sendiri.” (Siyar A’laamin Nubalaa, 4/549)

Imam Asy-Syafi’i berkata, “Kalau kamu mengkhawatirkan sikap ujub atas amal perbuatanmu, ingatlah keridhaan Allah yang menjadi tujuan amalmu, di alam kenikmatan mana engkau hendak berlabuh dan dari siksa mana engkau hindarkan dirimu. Karena barangsiapa yang mengingat semua itu, semua amalannya akan tampak kecil di matanya.” (Siyar A’laamin Nubalaa, 10/42)

Kita berlindung kepada Allah dari penyakit riya’dan melindungi kita dari ujub serta kesombongan. Semoga Allah menjadikan kita seorang mukhlishah, senantiasa berusaha untuk menjaga niat dari setiap amalan yang kita lakukan.  Innamal ‘ilmu ‘indallah. Wa’allahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar